Minggu, 10 November 2013

HARI PAHLAWAN: RENUNGAN SPARTAKUS INDONESIA

10 November 1945: Pertempuran Surabaya. Negara Indonesia memperingatinya sebagai Hari Pahlawan. Pertempuran Surabaya adalah bagian dari Revolusi Agustus. Dalam perspektif Bung Karno, Revolusi Agustus adalah revolusi nasional, yang membidik kemerdekaan demi suatu Negara Indonesia yang berdaulat penuh secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Dalam tahapan ini, kata kuncinya adalah "persatuan". Ya, persatuan semua kelas dan golongan atau unsur dalam bangsa Indonesia. Persatuan semua kekuatan revolusioner, katanya. Samenbundeling van alle revolutionaire krachte. Setelah revolusi nasional rampung, menyusullah revolusi sosial, yang membidik transformasi masyarakat Indonesia, menuju masyarakat sosialis ala Indonesia, yang adil dan makmur, gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharja. Lantas kapankah selesainya revolusi nasional itu? Kapankah revolusi sosial dimulai? Setelah penyerahan kedaulatan (via KMB), menurut Bung Karno revolusi belum selesai, baik revolusi nasional, lebih-lebih revolusi sosial. Sebab, bagaimana bisa revolusi nasional bisa dikatakan selesai bila (menurut persetujuan KMB) Republik Indonesia (Serikat) masih tergabung dalam Uni Indonesia-Belanda yang dikepalai Sri Ratu, Indonesia harus membayar biaya yang dikeluarkan Belanda untuk memerangi Indonesia (1945-49), perusahaan2 Belanda masih bercokol di Indonesia, dan Irian Barat belum dikembalikan Belanda kepada Indonesia? Revolusi nasional belum tuntas, apalagi revolusi sosial. Di lain pihak, menurut Bung Hatta, dengan penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia dalam KMB, revolusi sudah selesai. Berikutnya bukan revolusi, melainkan upaya mengisi kemerdekaan. Pembangunan. Di sinilah Dwi Tunggal mulai berpisah jalan. Dwi Tunggal kemudian menjadi Dwi Tanggal sesudah Bung Karno mendekati PKI. “Tak bisa air bersatu dengan minyak,” kata Bung Hatta, yang kemudian mengundurkan diri dari jabatan wapres. Setelah menjadi bonapartis-populis (via Dekrit Presiden yang tidak lepas dari dukungan Angkatan Darat yang ngebet ingin ikut berkuasa dengan menggelindingnya bola api Jalan Tengah Tentara-nya AH Nasution [yg kelak menjadi Dwi Fungsi ABRI]) Bung Karno menyatukan revolusi sosial ke dalam revolusi nasional. Ia menyebut nasional Indonesia sebagai “the summing up of many revolutions in one generation” dan “revolusi pancamuka”, yang meliputi revolusi politik, revolusi ekonomi, revolusi sosial, revolusi kebudayan, dsb. Revolusi macam ini jelas belum selesai. Dalam kenyataannya, dengan tergulingnya Bung Karno dan dihancurkannya PKI, "revolusi belum selesai" itu dihentikan. Orde Baru Soeharto mendefinisikan revolusi sebagai revolusi fisik atau revolusi kemerdekaan(1945-49): revolusi sudah selesai. Orde Baru Soeharto selanjutnya mencanangkan: pembangunan nasional – dalam integrasi perekonomian Indonesia dengan kapitalisme dunia. Dengan kata lain, memasukkan Indonesia yang semua anti-imperialis ke dalam orbit imperialisme. Pasca kejatuhan Soeharto, presiden-presiden Indonesia dari Habibie sampai SBY, mempertahankan status Indonesia sebagai bagian dari orbit imperialisme. Seorang veteran Sosialis menyebut Indonesia masa kini sebagai negeri neo-kolonial, neo-liberal, dan hidup menurut pragmatisme Amerika. Kembali kepada Bung Karno. Tesis BK tentang dua tahap revolusi, yakni revolusi nasional dan (kemudian) revolusi sosial, menurut pendapat saya, bercorak Menshevik dan Stalinis. Dahulukan yang nasional demi “pembebasan nasional”, baru yang sosial demi “Sosialisme.” Kelak Kawan Aidit menyebut tahapan pertama sebagai “revolusi burjuis/demokratik tipe baru.” Namun, agaknya kemudian Bung Karno mengalami kesulitan untuk memastikan kapan selesainya tahapan pertama dan kapan dimulainya tahapan kedua. Sikon nasional dan sikon internasional agaknya mempengaruhi visinya tentang revolusi. Di dalam negeri, aspirasi revolusi nasional dan revolusi sosial tumpang tindih. PKI (yang bangkit kembali dari kehancuran akibat kekalahan dalam Perlawanan Madiun 1948) mewakili kedua aspirasi ini. Di luar negeri, kebangkitan negeri-negeri jajahan menjadi negara-negara merdeka (yang terinspirasi oleh KAA 1955) di satu sisi dan pergulatan Soviet-AS, Sino-AS, dan Sino-Soviet (yang sudah dimulai sejak akhir hidup Stalin dan memuncak pada masa Khruschev) di sisi lain memperlihatkan aspirasi anti-imperialisme yang sangat kuat. Dalam sikon seperti ini Bung Karno mencanangkan: revolusi pancamuka, the summing up of many revolutions in one generation. Simaklah AMPERA: (i) NKRI yang berdaulat penuh dari Sabang sampai Merauke; (ii) Masyarakat Indonesia yang adil-makmur; dan (iii) Dunia tanpa exploitation de l’homme par l’homme dan tanpa exploitation de nation par nation. Salah satu persoalan serius, menurut pendapat saya, dari visi Bung Karno tentang revolusi adalah soal kepemimpinan dalam revolusi. Demokrasi Terpimpin, yang menempatkannya sebagai bonapartis-populis (“Pemimpin Besar Revolusi”), memuat kontradiksi yang tajam antara kepentingan burjuis nasional (yang mendapat dukungan dari sisa-sisa kelas feodal) dan kepentingan buruh dan tani. Di kanan ada partai-partai burjuis, baik yang nasionalis-sekular maupun nasionalis-Islamis, dan Angkatan Darat. Di kiri ada PKI, yang dipandang sebagai partainya kelas buruh dan kaum tani Indonesia. Kepemimpinan bonapartis-populis ini kelihatannya revolusioner, namun pada saat yang sama membiarkan kekuatan reaksi tumbuh dan kelak akan menggelar kontra-revolusi. Subversi kaum imperialis, dalam relasi yang saling memanfaatkan terutama dengan Angkatan Darat, tetapi juga dengan partai-partai nasionalis, akhirnya berpuncak pada penggulingan Bung Karno dan pelikuidasian PKI – dengan pretext kudeta Gerakan 30 September. “Naiknya Para Jenderal” (meminjam judul buku MR Siregar) sontak mengubah posisi Indonesia, dari anti-imperialisme menjadi bagian dari orbit imperialisme. Memang, “tugas historis” Soeharto dan Orde Baru-nya adalah mengintegrasikan Indonesia ke dalam kapitalisme dunia. Selain itu, dalam kancah Perang Dingin, Soeharto dan Orde Baru-nya harus memainkan peran sebagai penjagal kaum Komunis sekaligus menjadi anjing penjaga kepentingan kaum imperialis dari rongrongan Komunisme. Kelak, sesudah “tugas historis” Soeharto dan Orde Baru selesai, di tengah krisis ekonomi yang bertransformasi menjadi krisis politik, kaum imperialis turut menggulingkan the Smiling General dan Orde Baru-nya sembari tetap mempertahankan tatanan ekonomi-politik kapitalis Indonesia. Sejak saat itu, Negara Kesejahteraan Berwajah Leviathan ala Orde Baru beralih menjadi Negara Neo-Liberal, yang mengawinkan demokrasi liberal dan penjarahan besar-besaran imperialis atas Indonesia. Hingga hari ini. Yang menarik, Soeharto mengambilalih Demokrasi Terpimpin-nya Bung Karno. Suatu faham yang menempatkan pemimpin besar sebagai seorang bapak yang mahabijaksana, tahu yang terbaik dan pandai membuat sintesis dari sekian banyak pendapat yang berbeda, tersimpul dalam ungkapan “musyawarah untuk mufakat”, tidak asing bagi Soeharto. Ia tahu apa yang akan dibuatnya. Ia memodifikasi Demokrasi Terpimpin menjadi Demokrasi Pancasila. Sama-sama bonapartis, tapi bukan populis melainkan fasis. Ya. Bonapartis-fasis. Itulah Soeharto dan Orde Baru-nya. Ada perbedaan lain. Sementara Demokrasi Terpimpin memuat kontradiksi tajam antara burjuis nasional dan kelas buruh dan tani. Demokrasi Pancasila “berhasil” meniadakan kontradiksi itu. Caranya: membungkam kelas buruh dan tani. Untuk itu, Demokrasi Pancasila bertumpu pada satu partai negara (yang menguasai birokrasi), yakni Golkar, dan Militer yang ber-Dwi Fungsi. Sekian banyak partai diharuskan Soeharto berfusi dan menjadi dua partai aksesoris, PPP dan PDI. Bersama Golkar dan ABRI serta atas restu kaum imperialis yang digembongi AS, Soeharto membangun Negara Orde Baru sebagai Negara Kesejahteraan (yang dibiayai utang luar negeri yang telah terlebih dulu dikorupsi; ingat: Piye kabare, Le, iseh kepenak jamanku, toh?) Berwajah Leviathan (yang super-represif). Kembali ke Pertempuran Surabaya yang heroik, kembali ke Revolusi Agustus. Menurut Saudara, tidakkah Revolusi Agustus telah diselewengkan dari tujuannya yang seharusnya? Tidak sia-siakah pengorbanan arek-arek Surabaya dan sekian banyak rakyat pekerja Indonesia demi memenangkan Revolusi Agustus? Lantas, apa yang harus kita, kaum muda, perbuat? Jabat erat – Salam SPARTAKUS Indonesia!

Senin, 07 Oktober 2013

Kamus Kecil Sosialisme; A: Accumulation of Capital (Akumulasi Kapital)

Kawan2 Tercinta, Berikut kita mulai Kamus Kecil Sosialisme, yang direncanakan akan ditulis secara berseri dan mencakup istilah-istilah dalam teori, praksis, dan sejarah Sosialisme dari A sampai Z. Belum sempurna, tentu. Masukan dari Kawan-kawan akan disambut dengan gembira. Moga bermanfaat! Demi masa depan Sosialis Indonesia dan umat manusia! Jabat erat, Pandu Jakasurya A: Accumulation of capital (Akumulasi Kapital). Akumulasi Kapital adalah kekuatan pendorong kapitalisme. Akumulasi dimungkinkan oleh eksploitasi atau pengambilan Nilai Lebih dari hasil kerja produktif kaum buruh. Dalam ilmu ekonomi kapitalis, akumulasi digambarkan sebagai pilihan individu untuk menunda konsumsi masa kini demi konsumsi masa depan. Namun, sebenarnya keharusan untuk melakukan akumulasi bekerja secara independen dari kehendak individu-individu kapitalis. Keharusan untuk melakukan akumulasi diimposisikan kepada individu-individu kapitalis oleh persaingan di pasar dunia. Artinya, individu-individu kapitalis harus melakukan akumulasi bila mereka ingin bertahan bahkan menang dalam persaingan kapitalis. Tidak melakukan akumulasi berarti terlempar dari arena persaingan. Setelah memperoleh pendapatan melalui pengambilan Nilai Lebih, para kapitalis menginvestasikan kembali Nilai Lebih itu ke dalam alat-alat produksi. Ia mempercanggih alat-alat produksinya, meningkatkan efisiensinya, dst. Dengan jalan itu, ia mereproduksi kapital dalam suatu skala yang diperluas.***

Selasa, 30 April 2013

Spartakus Indonesia: May Day 2013: Pernyataan SPARTAKUS Indonesia

Spartakus Indonesia: May Day 2013: Pernyataan SPARTAKUS Indonesia: MAY DAY 2013 : PERNYATAAN SPARTAKUS INDONESIA PERJUANGAN KAUM BURUH, PERJUANGAN KEMANUSIAAN!        SPARTAKUS INDONESIA   Setiap ...

May Day 2013: Pernyataan SPARTAKUS Indonesia

MAY DAY 2013: PERNYATAAN SPARTAKUS INDONESIA
PERJUANGAN KAUM BURUH, PERJUANGAN KEMANUSIAAN!      

SPARTAKUS INDONESIA

 Setiap tahun, kaum buruh dan rakyat pekerja di seluruh dunia memiliki satu hari raya yang sangat istimewa.  Kaum buruh dan rakyat pekerja merayakannya setiap tanggal 1 Mei. Karena itu, hari raya istimewa kaum buruh dan rakyat pekerja itu dinamakan May Day.

Apa ‘Sih May Day Itu?

May Day adalah sebuah perayaan. Ya, perayaan akan kesetiakawanan dan cita-cita bersama. Dengan merayakan May Day, kaum buruh dan rakyat pekerja di seluruh dunia menyatakan bahwa mereka semua bersaudara. Ya, suatu persaudaraan tanpa mengenal perbedaan agama. Suatu persaudaraan yang tidak mengenal perbedaan ras dan kebangsaan. Suatu persaudaraan yang tidak mengenal perbedaan jenis kelamin. Semua bersaudara: saudara-saudara senasib, saudara-saudara sepenanggungan, dan saudara-saudara seperjuangan.

Dengan merayakan May Day, kaum buruh dan rakyat pekerja di seluruh dunia juga menyatakan cita-cita mereka. Cita-cita apa? Cita-cita tentang masa depan yang lebih baik. Cita-cita tentang masa depan yang lebih adil dan manusiawi. Cita-cita keadilan dan perikemanusiaan!

Cita-cita kaum buruh dan rakyat pekerja meliputi kenaikan upah, penghapusan outsourcing, perbaikan kondisi-kondisi kerja, dan peningkatan kesejahteraan.

Kaum buruh dan rakyat pekerja juga mencita-citakan pembebasan seluruh umat manusia dan alam dari sistem yang sewenang-wenang, yang menindas dan menghisap manusia serta merusak dan menghancurkan alam. Sistem tersebut adalah Kapitalisme. Sebagai ganti Kapitalisme, kaum buruh dan rakyat pekerja mencita-citakan sebuah sistem yang baru yang demokratis, yang lebih adil dan manusiawi, serta menjamin kesejahteraan seluruh umat manusia dan kelestarian alam.

Lantas, Dari Mana Asal-usul May Day?

May Day bermula dari perjuangan kaum buruh di Amerika Serikat. Pada tahun 1884 mereka mengajukan tuntutan kepada kelas penguasa agar sejak tanggal 1 Mei 1886 memberlakukan kerja 8 jam sehari. Adapun yang dimaksud dengan kelas penguasa terdiri dari para pemilik perusahaan (=kaum pemilik modal, atau lazim disebut kaum kapitalis/burjuis) dan pemerintah. 

Para pemilik perusahaan menolak tuntutan itu. Karena itu, pada 1 Mei 1886, kaum buruh mengadakan pemogokan umum dan turun ke jalan-jalan di seluruh seluruh negeri. Tujuan mereka: mendesak kelas penguasa untuk memberlakukan kerja 8 jam sehari. 

Pada tanggal 3 Mei, polisi Chicago menembaki kaum buruh yang sedang menggelar aksi di depan pabrik McCormick Reaper Works. Dalam penembakan itu, 6 orang buruh tewas dan sekian banyak buruh terluka. Peristiwa ini memicu protes kaum buruh di seluruh negeri. Demonstrasi digelar di seluruh negeri.

Pada tanggal 4 Mei, para anggota Asosiasi Rakyat Pekerja Internasional di Chicago menghimpun ribuan buruh dalam rapat raksasa di Lapangan Haymarket. Mereka memprotes kebrutalan polisi terhadap kaum buruh yang mogok pada South Side. Sore harinya, ketika pembicara yang terakhir sedang menyelesaikan pidatonya di hadapan 200 orang buruh yang masih bertahan di bawah guyuran hujan, 180 orang polisi bersenjata mendekati kaum buruh dan memerintahkan mereka bubar. Entah dari mana, tiba-tiba sebuah bom meledak di antara polisi-polisi itu. Tujuh orang polisi tewas. Kemudian para polisi menembaki para buruh yang tidak bersenjata itu. Hingga saat ini, jumlah buruh yang terbunuh dan luka-luka karena kebrutalan polisi tidak diketahui.

Delapan orang buruh ditahan. Mereka dituduh sebagai provokator/penghasut yang memicu terjadinya huru-hara. Di hari-hari berikutnya, koran-koran memuat berita-berita yang memojokkan kaum buruh dan mengabaikan kebrutalan yang dilakukan kelas penguasa.

Delapan orang buruh itu dinyatakan bersalah sebagai pemicu kerusuhan. Suatu vonis yang tidak beralasan. Sebab, dari delapan orang itu hanya satu orang yang hadir saat aksi protes berlangsung. Saat bom meledak, orang itu sedang berpidato di hadapan massa buruh. Tidak ada bukti yang diajukan untuk mendukung tuduhan, dakwaan, apalagi putusan pengadilan. Akhirnya, empat orang di antara mereka, yakni Albert Parsons, August Spies, George Engel, dan Adolph Fisher, dieksekusi mati. Seorang buruh, yakni Louis Lingg, tewas bunuh diri. Tiga orang lainnya  dibebaskan pada 1893 berkat gelombang protes yang luar biasa yang digelar kaum buruh Amerika.

Internasionale II, yang merupakan organisasi perjuangan kaum buruh internasional, menaruh perhatian yang serius terhadap peristiwa berdarah itu. Dalam kongres yang digelar di Paris pada bulan Juli 1889, Internasionale II menyerukan agar kaum buruh di seluruh Eropa dan Amerika untuk mengadakan demonstrasi dan pemogokan besar-besaran dalam rangka mengenang para buruh yang telah menjadi martir demi cita-cita kemanusiaan dan keadilan itu.

Demonstrasi-demonstrasi dan pemogokan-pemogokan itu mengedepankan tuntutan kerja 8 jam sehari, kondisi-kondisi kerja yang lebih baik, dan tuntutan-tuntutan lainnya dari Internasionale II. Bendera merah diciptakan sebagai lambang yang akan selalu mengingatkan kita pada darah kaum buruh yang telah tercurah (dan terus tercurah!) di bawah penindasan dan penghisapan Kapitalisme.

Ya, pada tanggal 1 Mei 1890 seluruh Eropa dan Amerika bergetar oleh demonstrasi-demonstrasi dan pemogokan-pemogokan kaum buruh. Sejak saat itulah kita mengenal May Day – Hari rayanya kaum buruh dan rakyat pekerja di seluruh dunia.

Apa ‘Sih Hubungannya May Day dengan saya?

Jika Saudara seorang buruh, baik yang bekerja di pabrik, usaha jasa, maupun sektor industri lainnya, bagi Saudaralah May Day diperuntukkan!

Jika Saudara seorang buruh tani, petani penggarap, atau petani gurem, yang tercekik oleh kondisi ekonomi yang disebabkan oleh sistem ekonomi-politik yang tidak adil, bagi Saudara May Day juga diperuntukkan!

Jika Saudara seorang pekerja serabutan yang pontang-panting mencari nafkah untuk diri Saudara sendiri dan keluarga Saudara, May Day juga diperuntukkan bagi Saudara!
Jika Saudara tergolong sebagai wong cilik, yang kenyang dengan perlakuan yang tidak adil, zalim, dan sewenang-wenang dari kelas penguasa, dan Saudara mendambakan suatu kehidupan yang lebih adil dan manusiawi, May Day diperuntukkan juga bagi Saudara!

Jika Saudara tergolong kaum terpelajar, hati nurani Saudara tergugah oleh penderitaan kaum buruh dan rakyat pekerja, dan Saudara ingin berjuang demi suatu kehidupan yang lebih adil dan manusiawi, untuk Saudara jugalah May Day ini!

Bagaimana Saya Bisa Merayakan May Day?

Mari, rayakanlah May Day, perkuatlah persaudaraan kaum buruh, rakyat pekerja, dan kaum tertindas lainnya.

Mari, rayakanlah May Day, kumandangkanlah aspirasi Saudara demi perikemanusiaan dan perikeadilan!

Mari, rayakanlah May Day, bertekadlah untuk berjuang bahu-membahu demi masa depan umat manusia dan dunia yang lebih baik!

Mari, berhimpunlah bersama-sama dengan kaum buruh dan rakyat pekerja yang pada hari ini menyuarakan cita-cita perjuangan mereka!

Mari, suarakanlah tuntutan keadilan Saudara:

§  Upah yang layak
§  Penghapusan outsourcing
§  Perbaikan kondisi-kondisi kerja
§  Peningkatan kesejahteraan
§  Penghapusan sistem yang sewenang-wenang, yang menghisap, menindas, dan menghancurkan kemanusiaan dan alam!
§  Pembangunan sistem baru yang demokratis, yang lebih adil dan manusiawi, serta menjamin kesejahteraan seluruh umat manusia dan kelestarian alam!

Mari, bergabunglah dengan organisasi perjuangan buruh dan rakyat pekerja yang benar-benar berkomitmen terhadap pembebasan sejati kaum tertindas!

Kaum buruh tidak akan kehilangan apa-apa kecuali rantai yang selama ini telah membelenggu mereka. Kaum buruh sedunia, bersatulah!

  
Hubungi:





Kamis, 29 November 2012

TEOLOGI PEMBEBASAN AMERIKA LATIN: SEBUAH SURVAI SINGKAT

Oleh: Rudolfus Antonius

Pengantar  

Pada akhir 1960-an, sebuah gerakan sosial dan intelektual baru muncul di Amerika Latin.  Berakar dalam Iman Kristen dan Alkitab, gerakan tersebut mengupayakan suprasuktur ideologisnya berdasarkan refleksi-religius yang terkait-erat dengan organisasi Gereja.

Para anggota dari tarekat-tarekat (ordo-ordo) berkomitmen pada ikrar kemiskinan. Mereka tidak mempunyai harta-milik secara individual. Meski demikian, mereka menikmati standart-dan-jaminan-hidup yang memisahkan mereka dari pergulatan sehari-hari kaum miskin. Pada waktu itu muncullah pertanyaan: Kemiskinan macam mana yang seharusnya dihidupi para anggota tarekat manakala sebagian besar orang (umat) hidup dalam kemiskinan yang sangat parah, yang merendahkan harkat-martabat kemanusiaannya? Apa yang harus dilakukan oleh Gereja dan orang-orang Kristen?  

Sabtu, 17 November 2012

AGAMA DAN KEADILAN SOSIAL



AGAMA DAN KEADILAN SOSIAL
Oleh: Pandu Jakasurya


Apakah hubungan antara agama dan keadilan sosial? Apakah kena-mengenanya dogma, ritus, dan norma-norma keagamaan dengan perjuangan untuk menegakkan atau mewujudkan keadilan sosial?

Ambivalensi Agama

Sepintas lalu jawabannya meyakinkan. Agama adalah sokoguru keadilan sosial. Rasanya tidak sukar untuk mengamini “kebenaran” tersebut bila kita mendalilkan Yang Ilahi sebagai Sang Maha Adil dan menghendaki para mukminat dan mukminin menghidupi keadilan sosial. Betapa tidak! Dengan dogma kita belajar tentang Sang Maha Adil. Dengan ritus kita menyembah Sang Maha Adil. Dengan norma-norma kita “melakukan kehendak-Nya dan menjauhi larangan-Nya.” Kehendak-Nya: keadilan sosial. Larangan-Nya: Ketidakadilan sosial. Jelas, agama adalah sokoguru keadilan sosial.

Kamis, 15 November 2012

MISI PROFETIS YESUS



Oleh: Rudolfus Antonius



Istilah ”misi profetis” berarti perutusan yang di dalamnya orang mengemban tugas kenabian. Ia menjadi ”penyambung lidah” Allah, menyampaikan penilaian dan sikap Allah terhadap realitas dalam konteks sosio-historis tertentu. Nabi-nabi klasik Israel, seperti Amos, Hosea, Yesaya, dan Mikha, terutama sekali bergumul dengan realitas ketidakadilan sosial dalam masyarakat pada zaman mereka. Pergumulan mereka menjadi ”rahim” bagi penilaian dan sikap Allah terhadap realitas dalam konteks sosio-historis mereka masing-masing. Penilaian dan sikap Allah menyatu dengan keprihatinan mereka. Pada gilirannya, dengan cara-cara yang khas mereka menyampaikan pesan ilahi yang telah menjiwai diri mereka itu kepada masyarakat mereka masing-masing. Pesan mereka begitu tajam, kuat, dan memiliki nilai yang berkelanjutan, karena suara mereka adalah perpaduan antara suara Allah dan suara manusia, yang menyatu dalam gugatan, harapan, dan ajakan untuk memperjuangkan kemanusiaan yang otentik.