Sabtu, 17 November 2012

AGAMA DAN KEADILAN SOSIAL



AGAMA DAN KEADILAN SOSIAL
Oleh: Pandu Jakasurya


Apakah hubungan antara agama dan keadilan sosial? Apakah kena-mengenanya dogma, ritus, dan norma-norma keagamaan dengan perjuangan untuk menegakkan atau mewujudkan keadilan sosial?

Ambivalensi Agama

Sepintas lalu jawabannya meyakinkan. Agama adalah sokoguru keadilan sosial. Rasanya tidak sukar untuk mengamini “kebenaran” tersebut bila kita mendalilkan Yang Ilahi sebagai Sang Maha Adil dan menghendaki para mukminat dan mukminin menghidupi keadilan sosial. Betapa tidak! Dengan dogma kita belajar tentang Sang Maha Adil. Dengan ritus kita menyembah Sang Maha Adil. Dengan norma-norma kita “melakukan kehendak-Nya dan menjauhi larangan-Nya.” Kehendak-Nya: keadilan sosial. Larangan-Nya: Ketidakadilan sosial. Jelas, agama adalah sokoguru keadilan sosial.


Dalam artian tertentu, klaim ini ada benarnya. Sejarah memberikan sejumlah kesaksian tentang peran positif yang signifikan yang dimainkan agama dalam memperjuangkan keadilan sosial. Memang ada saatnya ketika agama menjadi inspirasi bahkan kekuatan pendorong bagi perjuangan untuk menegakkan keadilan sosial. Agama menjadi kekuatan liberatif yang mengungkapkan dirinya dalam praksis keadilan.

Yahwisme dalam pembentukan masyarakat Israel yang mula-mula, misalnya. Menjadi agama sipil bagi para petani dan budak yang hidup di bawah bayang-bayang kekuasaan Mesir dan penghisapan raja-raja negara-negara kota Kanaan, Yahwisme mempersatukan mereka dalam sebuah konfederasi suku-suku dan memberi mereka keberanian untuk menggelar peperangan-peperangan revolusioner untuk mengakhiri penindasan dan membangun masyarakat yang merdeka dan egaliter.[1]

Demikian pula Gerakan Yesus, yang lahir di bawah bayang-bayang kekuasaan Romawi. Memandang dirinya sebagai gerakan mesianik, Gerakan Yesus berupaya menciptakan “umat manusia yang baru” (Ef 2.15) yang merobohkan perbedaan klas, perbedaan ras, dan perbedaan gender (Gal 3.27-28; Kol 3.9-11). Menjadikan nirkekerasan (non-violence) sebagai prinsip dan strategi perjuangan, Gerakan Yesus berusaha menghidupi kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan dengan iman pada Peristiwa Kebangkitan, pengharapan akan parousia, dan kasih kepada sesama. Dengan caranya sendiri, Gerakan Yesus berupaya menjadi inspirasi dan kekuatan bagi perjuangan untuk menegakkan keadilan sosial.

Tapi sejarah juga menunjukkan bahwa hubungan antara agama dan keadilan sosial seringkali tawar, masam, bahkan pahit. Kerap kali terjadi kesenjangan antara agama dan keadilan sosial. Atas nama Yang Ilahi agama kerap menjadi legitimasi bagi kekuasaan yang menindas dan menghisap. Ia menahbiskan para penjarah rakyat sebagai raja pilihan Yahweh, bahkan bergelar Mesias, Anak Allah (lihat Mzm 2.2, 6, 7). Atas nama ketenteraman (“shalom”) yang palsu, yang dipaksakan oleh pihak-pihak yang diuntungkan dalam tatanan yang menindas, agama menjadi alat untuk membungkam setiap kritik profetik dan mengharamkan perlawanan terhadap para penguasa. Padahal, “di mana ada kebenaran (keadilan, tsedaqah) di situ akan tumbuh damai sejahtera (shalom), dan akibat kebenaran (tsedaqah) ialah ketenangan (shaqat) dan ketenteraman (betakh)  untuk selama-lamanya” (Yes 32.17).

Pada saat yang sama, atas nama belas kasihan Tuhan yang abstrak dan kesetiakawanan yang semu agama menjadi pelipur lara bagi orang-orang yang terhisap dan tertindas dengan menjanjikan sorga, sekaligus “menjinakkan” mereka sehingga tidak berlawan. Dengan agama kaum yang terhisap dan tertindas dianjurkan untuk bersikap sabar dan tawakal, pandai-pandai bersyukur kepada Tuhan, dan pasrah pada keadilan “yang di sana.” Dengan cara yang khas, yakni melalui beranekaragam ritual dan pesta-poranya, agama mengalihkan keprihatinan kaum tertindas dari ketertindasannya, dan menenteramkan kaum penindas dari pertanggungjawaban moral mereka (Yes 1.10-17; Am 5.21-24). Dengan ini semua, agama menciptakan ilusi atau kesadaran palsu dalam diri manusia.

Memahami Ambivalensi Agama

Dalam hubungannya dengan keadilan sosial, jelaslah kiranya bahwa secara sosio-historis agama bersifat ambivalen. Ia bisa menjadi inspirasi dan kekuatan yang membebaskan kaum tertindas. Ia juga bisa menjadi pencipta kesadaran palsu dan kekuatan yang membelenggu kaum tertindas. Bagaimana kita memahami ambivalensi ini?

Ambivalensi agama tidak terlepas dari matriks yang di dalamnya agama itu tumbuh dan berkembang. Matriks itu adalah hubungan-hubungan produksi yang berlaku dalam masyarakat. Pengalaman relijius yang oleh para fenomenolog dipandang sebagai pengalaman asali yang melahirkan agama, demikian pula pelestarian dan penerusannya dalam bentuk mitos, dogma, ritus, dan norma,[2] terjadi di dalam hubungan-hubungan produksi tertentu.

Secara mendasar, dalam tiap-tiap hubungan produksi di satu terdapat klas yang bekerja untuk hidup dan menghasilkan surplus produksi, dan di sisi lain terdapat klas yang hidup dari pengambilan surplus produksi yang dihasilkan klas tersebut. Klas produsen adalah klas terhisap: kaum petani dalam masyarakat dengan modus produksi Asiatik, kaum budak dalam masyarakat perbudakan, kaum hamba sahaya dalam masyarakat feodal, dan kaum buruh alias proletariat dalam masyarakat kapitalis. Satunya lagi adalah klas penghisap: kaum kerajaan di negara-negara kota Kanaan, para pemilik budak dalam masyarakat perbudakan, para ningrat dan tuan tanah dalam masyarakat feodal, dan kaum burjuis alias kapitalis dalam masyarakat kapitalis.

Kaum imam atau pemuka agama terhisab ke dalam klas yang hidup dari pengambilan surplus produksi yang dihasilkan oleh para petani, kaum budak, hamba sahaya, dan kaum buruh. Agama yang lahir dan/atau tumbuh-berkembang dalam klas penghisap bercorak konservatif, yakni berfungsi menjaga status quo, yang pada hakikatnya mempertahankan kepentingan dan privilese klas tersebut. Kaum imam atau pemuka agama bertanggungjawab untuk menjamin efektivitas pengaruh agama dalam memelihara status quo. Para pemuka agama melakukannya dengan menggagas dan merumuskan dogma-dogma, mengadakan dan menggelar ritus-ritus, dan menetapkan norma-norma keagamaan. Inilah salah satu bentuk softpower atau hegemoni klas penghisap dalam melanggengkan kekuasaan, kepentingan, dan privilesenya atas klas yang terhisap.[3]

Agama bisa juga lahir dan tumbuh berkembang di kalangan klas yang terhisap. Lahir dari fakta keterhisapan dan ketertindasan, coraknya tentu sangat berbeda dengan agama klas penghisap. Agama ini berwatak subversif: menggugat status quo (tatanan ekonomi politik dan hubungan-hubungan produksi yang tidak adil), memimpikan masa depan dengan tatanan baru yang lebih adil dan manusiawi, dan terjabar dalam perlawanan baik terhadap klas penguasa maupun tatanan yang menguntungkan klas tersebut. Watak subversif ini terekspresi dalam dogma, ritus, dan norma-norma yang bercorak kerakyatan, yang dengan mudah dinilai kasar, sinkretistik, dan heterodoks, namun mampu memberikan inspirasi dan kekuatan para penganutnya untuk memperjuangkan keadilan sosial yang didambakan.[4]

Dalam pada itu, dialektika yang terjadi dalam hubungan-hubungan produksi dalam suatu masyarakat tidak mengizinkan kita untuk berpikir mekanistik, seolah-olah agama yang lahir dari suatu klas akan tetap menyandang predikat sebagai agama dari klas yang bersangkutan. Perjuangan klas, yang bisa terjadi di ranah pertarungan idea-idea, adalah faktor yang mendinamisir kedudukan, watak, dan fungsi atau peran agama yang dilahirkan dari masing-masing klas. Ada kasus-kasus di mana kaum yang tertindas memeluk, mengadaptasi, dan mengembangkan agama yang dilahirkan dan mula-mula tumbuh dan berkembang di kalangan klas penindas. Islam Abangan dengan simbolisme figur kharismatis Syekh Siti Jenar, misalnya, menyerap unsur-unsur Islam Putihan ala Kesultanan Demak dan Dewan Wali, namun mengadaptasi dan mengembangkannya sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni pemerintahan Islam tersebut.

Di pihak lain ada juga kasus-kasus di mana klas penindas mengkooptasi agama yang mula-mula lahir dan tumbuh-berkembang di kalangan klas yang tertindas. Klas penguasa mengambil simbol-simbol religio-populis dari agama tersebut, memberinya isi yang baru yang tentu saja bertentangan dengan isi yang lama, serta menggunakannya untuk melegitimasi kekuasaan, kepentingan, dan privilisenya. Apa yang terjadi dengan Yahwisme sejak diintrodusirnya Monarki dan penciptaan ideologi mesianik Keluarga Daud, adalah contohnya. Yahwisme asli yang anti-monarki diadaptasi dengan monarki dengan “membebani” raja dengan tugas-tugas menyelamatkan umat Yahweh dari ancaman musuh serta menegakkan hukum dan keadilan bagi mereka. Yahwisme pro-monarki ini pada gilirannya digunakan untuk melegitimasi kekuasaan yang berlumuran darah berikut kepentingan dan privilese Keluarga Daud dengan penderitaan rakyat Israel dan Yehuda sebagai harga yang harus dibayar.[5]

Demikian juga halnya dengan Gerakan Yesus.[6] Dengan semakin banyaknya orang-orang dari klas penguasa menggabungkan diri dengannya, gerakan ini masih mempertahankan istilah-istilah lama, seperti Kerajaan Allah, umat manusia yang baru, koinonia, diakonia, dsb., tapi diberi isi yang semakin bercorak spiritual atau metafisik. Di samping itu, nilai-nilai yang semula diperjuangkan melalui “bunuh diri klas” (via baptisan) untuk menjadi kenyataan di sini dan kini, yakni kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan, dimaknai secara idealistis. Misalnya, secara material tetap ada perbedaan klas, tapi mari memperlakukan seorang yang lain sebagai saudara. Secara gender masih tetap ada diskriminasi, tapi tetap harus mencamkan bahwa pada dasarnya laki-laki dan perempuan setara di hadapan Allah. Meski di atas kertas rasisme dirobohkan, tapi Anti-Semitisme dibiarkan merayap masuk dan berkembang di kalangan Kristen bukan Yahudi.

Pada puncaknya, ketika semakin banyak orang-orang dari klas penguasa dan berposisi strategis menjadi anggota Gereja, Konstantinus pun menyadari bahwa lebih baik merangkul Kekristenan dan menjadikannya alat kekuasaan ketimbang meneruskan penghambatan terhadapnya. Maka dimulailah Corpus Christianum alias Christendom alias Tatanan Kristen, yang, dengan segala hormat atas prestasi-prestasi gemilangnya, menjadi tatanan feodal yang reaksioner dan sangat represif. Demikianlah Gerakan Yesus, yang tak lain merupakan gerakan kaum buruh tani, budak, dan perempuan tertindas, menjadi Constantinian religion, agamanya klas penguasa. Dalam kata-kata cendekiawan organik Alan Woods,

“Tradisi-tradisi revolusioner Kekristenan Perdana sama sekali tidak ada hubungannya dengan situasi saat ini. Sejak Abad IV M, ketika gerakan Kristen dibajak oleh negara dan berubah menjadi suatu instrument para penindas, Gereja Kristen telah berada pada sisi kaum kaya dan kuasa dan berlawan terhadap kaum miskin.”[7]  

Syukurlah, dialektika tidak berhenti. Dalam perjumpaan dengan kaum tertindas yang hidup dalam realitas sosio-historis yang konkret serta perkenalan dengan analisis sosio-historis dialektis (Marxisme) yang secara realistik menyingkapkan watak dan dinamika masyarakat-masyarakat yang ditandai dengan penghisapan dan penindasan yang masif, sejumlah rohaniwan-rohaniwati dan kaum “awam” berani mengkritisi agama yang terbentuk oleh klas penguasa (dalam konteks ini, Katolisisme Roma), atau setidaknya memaknainya kembali dalam perspektif kaum miskin dan tertindas, serta mempergunakannya untuk memperjuangkan keadilan sosial. Secara hakiki, inilah yang kita namakan Teologi (-teologi) Pembebasan. Yang lebih menggembirakan, Teologi (-teologi) Pembebasan sekarang juga berkembang dalam lingkup ekumenis, bahkan lintas agama.

Lalu Bagaimana?

Sudilah kiranya kita bersikap jujur dan melakukan otokritik. Apakah agama (Kekristenan) yang kita anut selama ini (berikut dogma, ritus, dan norma-normanya) lebih menampakkan watak dan ciri agama klas penghisap dan penindas, atau justru watak dan ciri agama klas yang terhisap dan tertindas. Kekristenan kita Kekristenan pro status quo atau Kekristenan yang subversif? Batu ujinya mungkin sederhana:


  • Apakah dogma yang kita pelajari dan imani menolong kita untuk semakin mengenal dan mengimani Allah yang mempunyai komitmen untuk mendahulukan dan tinggal bersama-sama dengan kaum yang miskin dan tertindas (preferential option for and with the poor and the oppressed)?
  •  Apakah ritus-ritus kita tidak menenggelamkan kita ke dalam narsisisme relijius tapi semakin kita menghayati bahwa memuliakan Allah tidaklah terlepas dari cinta solidaritas yang mengangkat yang miskin dan tertindas? Apakah ritus-ritus kita menumbuhkembangmekarkan, dan bukannya mematikan spiritualitas pembebasan? 
  • Apakah norma-norma etis yang kita pegang berdimensi sosial, sehingga kemiskinan injili, praksis keadilan, dan perjuangan pembebasan menjadi pilihan hidup kita dalam menanggapi panggilan berkarya dalam Kerajaan-Nya?
  •  Apakah pengajaran dan khotbah yang kita sampaikan kepada umat/jemaat bersifat “meninabobokan” atau justru mencerahkan kendati mengusik nurani banyak orang karena fakta penindasan dan penghisapan yang selama ini menjadi fakta senyap? 


Bila jawabnya adalah “Ya”, tentulah Kekristenan kita adalah Kekristenan yang subversif. Mari kita lanjutkan dengan taat asas dan konsekuen. Bila jawabnya adalah “Tidak”, tentulah Kekristenan kita adalah Kekristenan yang pro status quo. Kalau memang demikian, adakah ajakan yang lebih baik daripada ajakan untuk bertobat? Jika jawabnya adalah di antara “Ya” dan “Tidak”, tentulah ini merupakan suatu pertanda bahwa kita mesti melakukan dekonstruksi terhadap pemahaman, penghayatan, dan praksis etis-relijius kita selama ini.

Apakah hubungan antara agama dan ketidakadilan sosial? Pertanyaan ini berpulang kepada Saudara untuk digumuli dan dijawab dengan ketegasan yang secara langsung kena-mengena dengan junjungan yang Saudara ikuti. Biarlah jawaban Saudara menggemakan keputusan agung, “Mengikut Yesus Keputusanku.” If Jesus of Nazareth, the Risen Christ is my Lord, then my answer is…   


[1] Tentang hal ini, simaklah Norman K. Gottwald, “Revisiting the Tribes of Yahweh”, http://www.servicioskoinonia.org/relat/374e.htm diakses 12 Februari 2012.
[2] Pendekatan fenomenologis tentang agama yang bertitikberangkat dari pengalaman relijius asali dan upaya pelestarian dan penerusannya dalam bentuk dogma, ritus, dan norma-norma etis keagamaan saya “pinjam” dari alm. Eka Darmaputera, “Agama dan Spiritualitas: Suatu Perspektif Pengantar”, dalam Penuntun, Vol 3 No 12, Juli 1997, hlm. 391.
[3] Analisis Gramscian tentang mekanisme hegemonik ini secara sangat ringkas dan menarik dapat kita baca dalam artikel Richard Toews, “Politics and the Cross: Worship, an Act of Opposition”, http://www.anglocatholicsocialism.org/politicsandcross.html, diakses 13 Februari 2012.
[4] Bdk penuturan Michael Lowy tentang pemikiran Marxis Jerman Timur, Ernst Bloch, dalam “Marxism and Religion: Opiate the People?”, dalam New Socialist Issue #51 – May/June 2005, http://newsocialist.org/newsite/index.php?id=243, diakses 13 Februari 2012.
[5] Dalam kata-kata tokoh Mennonite James E. Metzler, “Lembaga-lembaga kemaharajaan, kerajaan, dan agama semuanya dipandang sebagai anti-shalom, dan digugat dan ditentang oleh nabi-nabi yang sejati. Mereka semuanya adalah bagian dari suatu sistem hukum dan ketertiban, yang didukung oleh nabi-nabi istana agama sipil, yang memproduksi shalom yang palsu yang didasarkan pada paksaan dan kekerasan. Nabi-nabi sejati mendeklarasikan bahwa tidak ada shalom lepas dari keadilan ekonomik dan hidup yang benar.” Lihat Metzler, “Shalom is the Mission”, dalam Robert L. Ramseyer, ed., Mission and the Peace Witness: The Gospel and Christian Discipleship (Scottdale: Herald Press, 1979), hlm. 39.
[6] Untuk pembahasan topik ini, lihat Pandu Jakasurya, “Kontradiksi dalam Gereja Perdana”, http://riro-theologiapublica.blogspot.com/2009/02/kontradiksi-dalam-gereja-perdana.html , diakses 13 Februari 2012.
[7] Alan Woods, “Marxism and Religion”, http://www.marxist.com/marxism-religion-liberation-theology220701.htm, diakses 13 Februari 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar