AGAMA DAN
KEADILAN SOSIAL
Oleh: Pandu Jakasurya
Apakah
hubungan antara agama dan keadilan sosial? Apakah kena-mengenanya dogma, ritus,
dan norma-norma keagamaan dengan perjuangan untuk menegakkan atau mewujudkan
keadilan sosial?
Ambivalensi Agama
Sepintas
lalu jawabannya meyakinkan. Agama adalah sokoguru keadilan sosial. Rasanya
tidak sukar untuk mengamini “kebenaran” tersebut bila kita mendalilkan Yang
Ilahi sebagai Sang Maha Adil dan menghendaki para mukminat dan mukminin
menghidupi keadilan sosial. Betapa tidak! Dengan dogma kita belajar tentang
Sang Maha Adil. Dengan ritus kita menyembah Sang Maha Adil. Dengan norma-norma
kita “melakukan kehendak-Nya dan menjauhi larangan-Nya.” Kehendak-Nya: keadilan
sosial. Larangan-Nya: Ketidakadilan sosial. Jelas, agama adalah sokoguru
keadilan sosial.
Dalam
artian tertentu, klaim ini ada benarnya. Sejarah memberikan sejumlah kesaksian
tentang peran positif yang signifikan yang dimainkan agama dalam memperjuangkan
keadilan sosial. Memang ada saatnya ketika agama menjadi inspirasi bahkan
kekuatan pendorong bagi perjuangan untuk menegakkan keadilan sosial. Agama
menjadi kekuatan liberatif yang mengungkapkan dirinya dalam praksis keadilan.
Yahwisme
dalam pembentukan masyarakat Israel yang mula-mula, misalnya. Menjadi agama
sipil bagi para petani dan budak yang hidup di bawah bayang-bayang kekuasaan
Mesir dan penghisapan raja-raja negara-negara kota Kanaan, Yahwisme mempersatukan
mereka dalam sebuah konfederasi suku-suku dan memberi mereka keberanian untuk
menggelar peperangan-peperangan revolusioner untuk mengakhiri penindasan dan
membangun masyarakat yang merdeka dan egaliter.[1]
Demikian
pula Gerakan Yesus, yang lahir di bawah bayang-bayang kekuasaan Romawi.
Memandang dirinya sebagai gerakan mesianik, Gerakan Yesus berupaya menciptakan
“umat manusia yang baru” (Ef 2.15) yang merobohkan perbedaan klas, perbedaan
ras, dan perbedaan gender (Gal 3.27-28; Kol 3.9-11). Menjadikan nirkekerasan (non-violence) sebagai prinsip dan
strategi perjuangan, Gerakan Yesus berusaha menghidupi kemerdekaan, kesetaraan,
dan persaudaraan dengan iman pada Peristiwa Kebangkitan, pengharapan akan parousia, dan kasih kepada sesama.
Dengan caranya sendiri, Gerakan Yesus berupaya menjadi inspirasi dan kekuatan
bagi perjuangan untuk menegakkan keadilan sosial.
Tapi sejarah juga menunjukkan
bahwa hubungan antara agama dan keadilan sosial seringkali tawar, masam, bahkan
pahit. Kerap kali terjadi kesenjangan antara agama dan keadilan sosial. Atas
nama Yang Ilahi agama kerap menjadi legitimasi bagi kekuasaan yang menindas dan
menghisap. Ia menahbiskan para penjarah rakyat sebagai raja pilihan Yahweh,
bahkan bergelar Mesias, Anak Allah (lihat Mzm 2.2, 6, 7). Atas nama
ketenteraman (“shalom”) yang palsu,
yang dipaksakan oleh pihak-pihak yang diuntungkan dalam tatanan yang menindas,
agama menjadi alat untuk membungkam setiap kritik profetik dan mengharamkan
perlawanan terhadap para penguasa. Padahal, “di mana ada kebenaran (keadilan, tsedaqah) di situ akan tumbuh damai
sejahtera (shalom), dan akibat
kebenaran (tsedaqah) ialah ketenangan
(shaqat) dan ketenteraman (betakh) untuk selama-lamanya” (Yes 32.17).
Pada
saat yang sama, atas nama belas kasihan Tuhan yang abstrak dan kesetiakawanan
yang semu agama menjadi pelipur lara bagi orang-orang yang terhisap dan
tertindas dengan menjanjikan sorga, sekaligus “menjinakkan” mereka sehingga
tidak berlawan. Dengan agama kaum yang terhisap dan tertindas dianjurkan untuk
bersikap sabar dan tawakal, pandai-pandai bersyukur kepada Tuhan, dan pasrah
pada keadilan “yang di sana.” Dengan cara yang khas, yakni melalui
beranekaragam ritual dan pesta-poranya, agama mengalihkan keprihatinan kaum
tertindas dari ketertindasannya, dan menenteramkan kaum penindas dari
pertanggungjawaban moral mereka (Yes 1.10-17; Am 5.21-24). Dengan ini semua,
agama menciptakan ilusi atau kesadaran palsu dalam diri manusia.
Memahami Ambivalensi Agama
Dalam
hubungannya dengan keadilan sosial, jelaslah kiranya bahwa secara
sosio-historis agama bersifat ambivalen. Ia bisa menjadi inspirasi dan kekuatan
yang membebaskan kaum tertindas. Ia juga bisa menjadi pencipta kesadaran palsu
dan kekuatan yang membelenggu kaum tertindas. Bagaimana kita memahami
ambivalensi ini?
Ambivalensi
agama tidak terlepas dari matriks yang di dalamnya agama itu tumbuh dan
berkembang. Matriks itu adalah hubungan-hubungan produksi yang berlaku dalam
masyarakat. Pengalaman relijius yang oleh para fenomenolog dipandang sebagai
pengalaman asali yang melahirkan agama, demikian pula pelestarian dan
penerusannya dalam bentuk mitos, dogma, ritus, dan norma,[2]
terjadi di dalam hubungan-hubungan produksi tertentu.
Secara
mendasar, dalam tiap-tiap hubungan produksi di satu terdapat klas yang bekerja
untuk hidup dan menghasilkan surplus produksi, dan di sisi lain terdapat klas
yang hidup dari pengambilan surplus produksi yang dihasilkan klas tersebut.
Klas produsen adalah klas terhisap: kaum petani dalam masyarakat dengan modus
produksi Asiatik, kaum budak dalam masyarakat perbudakan, kaum hamba sahaya
dalam masyarakat feodal, dan kaum buruh alias proletariat dalam masyarakat
kapitalis. Satunya lagi adalah klas penghisap: kaum kerajaan di negara-negara
kota Kanaan, para pemilik budak dalam masyarakat perbudakan, para ningrat dan
tuan tanah dalam masyarakat feodal, dan kaum burjuis alias kapitalis dalam
masyarakat kapitalis.
Kaum
imam atau pemuka agama terhisab ke dalam klas yang hidup dari pengambilan
surplus produksi yang dihasilkan oleh para petani, kaum budak, hamba sahaya,
dan kaum buruh. Agama yang lahir dan/atau tumbuh-berkembang dalam klas
penghisap bercorak konservatif, yakni berfungsi menjaga status quo, yang pada hakikatnya mempertahankan kepentingan dan
privilese klas tersebut. Kaum imam atau pemuka agama bertanggungjawab untuk
menjamin efektivitas pengaruh agama dalam memelihara status quo. Para pemuka agama melakukannya dengan menggagas dan
merumuskan dogma-dogma, mengadakan dan menggelar ritus-ritus, dan menetapkan
norma-norma keagamaan. Inilah salah satu bentuk softpower atau hegemoni klas penghisap dalam melanggengkan
kekuasaan, kepentingan, dan privilesenya atas klas yang terhisap.[3]
Agama
bisa juga lahir dan tumbuh berkembang di kalangan klas yang terhisap. Lahir
dari fakta keterhisapan dan ketertindasan, coraknya tentu sangat berbeda dengan
agama klas penghisap. Agama ini berwatak subversif: menggugat status quo (tatanan ekonomi politik dan
hubungan-hubungan produksi yang tidak adil), memimpikan masa depan dengan
tatanan baru yang lebih adil dan manusiawi, dan terjabar dalam perlawanan baik
terhadap klas penguasa maupun tatanan yang menguntungkan klas tersebut. Watak
subversif ini terekspresi dalam dogma, ritus, dan norma-norma yang bercorak
kerakyatan, yang dengan mudah dinilai kasar, sinkretistik, dan heterodoks, namun
mampu memberikan inspirasi dan kekuatan para penganutnya untuk memperjuangkan
keadilan sosial yang didambakan.[4]
Dalam
pada itu, dialektika yang terjadi dalam hubungan-hubungan produksi dalam suatu
masyarakat tidak mengizinkan kita untuk berpikir mekanistik, seolah-olah agama
yang lahir dari suatu klas akan tetap menyandang predikat sebagai agama dari
klas yang bersangkutan. Perjuangan klas, yang bisa terjadi di ranah pertarungan
idea-idea, adalah faktor yang mendinamisir kedudukan, watak, dan fungsi atau
peran agama yang dilahirkan dari masing-masing klas. Ada kasus-kasus di mana
kaum yang tertindas memeluk, mengadaptasi, dan mengembangkan agama yang dilahirkan
dan mula-mula tumbuh dan berkembang di kalangan klas penindas. Islam Abangan
dengan simbolisme figur kharismatis Syekh Siti Jenar, misalnya, menyerap
unsur-unsur Islam Putihan ala Kesultanan Demak dan Dewan Wali, namun
mengadaptasi dan mengembangkannya sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni
pemerintahan Islam tersebut.
Di
pihak lain ada juga kasus-kasus di mana klas penindas mengkooptasi agama yang
mula-mula lahir dan tumbuh-berkembang di kalangan klas yang tertindas. Klas
penguasa mengambil simbol-simbol religio-populis dari agama tersebut,
memberinya isi yang baru yang tentu saja bertentangan dengan isi yang lama,
serta menggunakannya untuk melegitimasi kekuasaan, kepentingan, dan
privilisenya. Apa yang terjadi dengan Yahwisme sejak diintrodusirnya Monarki
dan penciptaan ideologi mesianik Keluarga Daud, adalah contohnya. Yahwisme asli
yang anti-monarki diadaptasi dengan monarki dengan “membebani” raja dengan
tugas-tugas menyelamatkan umat Yahweh dari ancaman musuh serta menegakkan hukum
dan keadilan bagi mereka. Yahwisme pro-monarki ini pada gilirannya digunakan
untuk melegitimasi kekuasaan yang berlumuran darah berikut kepentingan dan
privilese Keluarga Daud dengan penderitaan rakyat Israel dan Yehuda sebagai
harga yang harus dibayar.[5]
Demikian
juga halnya dengan Gerakan Yesus.[6]
Dengan semakin banyaknya orang-orang dari klas penguasa menggabungkan diri
dengannya, gerakan ini masih mempertahankan istilah-istilah lama, seperti
Kerajaan Allah, umat manusia yang baru, koinonia, diakonia, dsb., tapi diberi
isi yang semakin bercorak spiritual atau metafisik. Di samping itu, nilai-nilai
yang semula diperjuangkan melalui “bunuh diri klas” (via baptisan) untuk menjadi kenyataan di sini dan kini, yakni
kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan, dimaknai secara idealistis.
Misalnya, secara material tetap ada perbedaan klas, tapi mari memperlakukan
seorang yang lain sebagai saudara. Secara gender masih tetap ada diskriminasi,
tapi tetap harus mencamkan bahwa pada dasarnya laki-laki dan perempuan setara di
hadapan Allah. Meski di atas kertas rasisme dirobohkan, tapi Anti-Semitisme
dibiarkan merayap masuk dan berkembang di kalangan Kristen bukan Yahudi.
Pada
puncaknya, ketika semakin banyak orang-orang dari klas penguasa dan berposisi strategis
menjadi anggota Gereja, Konstantinus pun menyadari bahwa lebih baik merangkul
Kekristenan dan menjadikannya alat kekuasaan ketimbang meneruskan penghambatan
terhadapnya. Maka dimulailah Corpus
Christianum alias Christendom
alias Tatanan Kristen, yang, dengan segala hormat atas prestasi-prestasi
gemilangnya, menjadi tatanan feodal yang reaksioner dan sangat represif.
Demikianlah Gerakan Yesus, yang tak lain merupakan gerakan kaum buruh tani,
budak, dan perempuan tertindas, menjadi Constantinian
religion, agamanya klas penguasa. Dalam kata-kata cendekiawan organik Alan
Woods,
“Tradisi-tradisi revolusioner
Kekristenan Perdana sama sekali tidak ada hubungannya dengan situasi saat ini.
Sejak Abad IV M, ketika gerakan Kristen dibajak oleh negara dan berubah menjadi
suatu instrument para penindas, Gereja Kristen telah berada pada sisi kaum kaya
dan kuasa dan berlawan terhadap kaum miskin.”[7]
Syukurlah,
dialektika tidak berhenti. Dalam perjumpaan dengan kaum tertindas yang hidup
dalam realitas sosio-historis yang konkret serta perkenalan dengan analisis
sosio-historis dialektis (Marxisme) yang secara realistik menyingkapkan watak
dan dinamika masyarakat-masyarakat yang ditandai dengan penghisapan dan
penindasan yang masif, sejumlah rohaniwan-rohaniwati dan kaum “awam” berani
mengkritisi agama yang terbentuk oleh klas penguasa (dalam konteks ini,
Katolisisme Roma), atau setidaknya memaknainya kembali dalam perspektif kaum miskin
dan tertindas, serta mempergunakannya untuk memperjuangkan keadilan sosial.
Secara hakiki, inilah yang kita namakan Teologi (-teologi) Pembebasan. Yang
lebih menggembirakan, Teologi (-teologi) Pembebasan sekarang juga berkembang
dalam lingkup ekumenis, bahkan lintas agama.
Lalu Bagaimana?
Sudilah
kiranya kita bersikap jujur dan melakukan otokritik. Apakah agama (Kekristenan)
yang kita anut selama ini (berikut dogma, ritus, dan norma-normanya) lebih
menampakkan watak dan ciri agama klas penghisap dan penindas, atau justru watak
dan ciri agama klas yang terhisap dan tertindas. Kekristenan kita Kekristenan
pro status quo atau Kekristenan yang
subversif? Batu ujinya mungkin sederhana:
- Apakah dogma yang kita pelajari dan imani menolong kita untuk semakin mengenal dan mengimani Allah yang mempunyai komitmen untuk mendahulukan dan tinggal bersama-sama dengan kaum yang miskin dan tertindas (preferential option for and with the poor and the oppressed)?
- Apakah ritus-ritus kita tidak menenggelamkan kita ke dalam narsisisme relijius tapi semakin kita menghayati bahwa memuliakan Allah tidaklah terlepas dari cinta solidaritas yang mengangkat yang miskin dan tertindas? Apakah ritus-ritus kita menumbuhkembangmekarkan, dan bukannya mematikan spiritualitas pembebasan?
- Apakah norma-norma etis yang kita pegang berdimensi sosial, sehingga kemiskinan injili, praksis keadilan, dan perjuangan pembebasan menjadi pilihan hidup kita dalam menanggapi panggilan berkarya dalam Kerajaan-Nya?
- Apakah pengajaran dan khotbah yang kita sampaikan kepada umat/jemaat bersifat “meninabobokan” atau justru mencerahkan kendati mengusik nurani banyak orang karena fakta penindasan dan penghisapan yang selama ini menjadi fakta senyap?
Bila
jawabnya adalah “Ya”, tentulah Kekristenan kita adalah Kekristenan yang
subversif. Mari kita lanjutkan dengan taat asas dan konsekuen. Bila jawabnya
adalah “Tidak”, tentulah Kekristenan kita adalah Kekristenan yang pro status
quo. Kalau memang demikian, adakah ajakan yang lebih baik daripada ajakan untuk
bertobat? Jika jawabnya adalah di antara “Ya” dan “Tidak”, tentulah ini
merupakan suatu pertanda bahwa kita mesti melakukan dekonstruksi terhadap
pemahaman, penghayatan, dan praksis etis-relijius kita selama ini.
Apakah
hubungan antara agama dan ketidakadilan sosial? Pertanyaan ini berpulang kepada
Saudara untuk digumuli dan dijawab dengan ketegasan yang secara langsung
kena-mengena dengan junjungan yang Saudara ikuti. Biarlah jawaban Saudara
menggemakan keputusan agung, “Mengikut Yesus Keputusanku.” If Jesus of Nazareth, the Risen Christ is my Lord, then my answer
is…
[1] Tentang hal ini, simaklah Norman
K. Gottwald, “Revisiting the Tribes of Yahweh”, http://www.servicioskoinonia.org/relat/374e.htm diakses 12 Februari 2012.
[2] Pendekatan fenomenologis tentang
agama yang bertitikberangkat dari pengalaman relijius asali dan upaya
pelestarian dan penerusannya dalam bentuk dogma, ritus, dan norma-norma etis
keagamaan saya “pinjam” dari alm. Eka Darmaputera, “Agama dan Spiritualitas:
Suatu Perspektif Pengantar”, dalam Penuntun,
Vol 3 No 12, Juli 1997, hlm. 391.
[3] Analisis Gramscian tentang
mekanisme hegemonik ini secara sangat ringkas dan menarik dapat kita baca dalam
artikel Richard Toews, “Politics and the Cross: Worship, an Act of Opposition”,
http://www.anglocatholicsocialism.org/politicsandcross.html, diakses 13 Februari 2012.
[4] Bdk penuturan Michael Lowy
tentang pemikiran Marxis Jerman Timur, Ernst Bloch, dalam “Marxism and
Religion: Opiate the People?”, dalam New Socialist Issue #51 – May/June 2005, http://newsocialist.org/newsite/index.php?id=243, diakses 13 Februari 2012.
[5] Dalam kata-kata tokoh Mennonite James
E. Metzler, “Lembaga-lembaga kemaharajaan, kerajaan, dan agama semuanya
dipandang sebagai anti-shalom, dan digugat dan ditentang oleh nabi-nabi yang
sejati. Mereka semuanya adalah bagian dari suatu sistem hukum dan ketertiban,
yang didukung oleh nabi-nabi istana agama sipil, yang memproduksi shalom yang
palsu yang didasarkan pada paksaan dan kekerasan. Nabi-nabi sejati
mendeklarasikan bahwa tidak ada shalom lepas dari keadilan ekonomik dan hidup
yang benar.” Lihat Metzler, “Shalom is the Mission”, dalam Robert L. Ramseyer,
ed., Mission and the Peace Witness: The
Gospel and Christian Discipleship (Scottdale: Herald Press, 1979), hlm. 39.
[6] Untuk pembahasan topik ini,
lihat Pandu Jakasurya, “Kontradiksi dalam Gereja Perdana”, http://riro-theologiapublica.blogspot.com/2009/02/kontradiksi-dalam-gereja-perdana.html , diakses 13 Februari 2012.
[7] Alan Woods, “Marxism and
Religion”, http://www.marxist.com/marxism-religion-liberation-theology220701.htm, diakses 13 Februari 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar