Kamis, 15 November 2012

MISI PROFETIS YESUS



Oleh: Rudolfus Antonius



Istilah ”misi profetis” berarti perutusan yang di dalamnya orang mengemban tugas kenabian. Ia menjadi ”penyambung lidah” Allah, menyampaikan penilaian dan sikap Allah terhadap realitas dalam konteks sosio-historis tertentu. Nabi-nabi klasik Israel, seperti Amos, Hosea, Yesaya, dan Mikha, terutama sekali bergumul dengan realitas ketidakadilan sosial dalam masyarakat pada zaman mereka. Pergumulan mereka menjadi ”rahim” bagi penilaian dan sikap Allah terhadap realitas dalam konteks sosio-historis mereka masing-masing. Penilaian dan sikap Allah menyatu dengan keprihatinan mereka. Pada gilirannya, dengan cara-cara yang khas mereka menyampaikan pesan ilahi yang telah menjiwai diri mereka itu kepada masyarakat mereka masing-masing. Pesan mereka begitu tajam, kuat, dan memiliki nilai yang berkelanjutan, karena suara mereka adalah perpaduan antara suara Allah dan suara manusia, yang menyatu dalam gugatan, harapan, dan ajakan untuk memperjuangkan kemanusiaan yang otentik.


Bila ”misi profetis” dikenakan kepada Yesus dari Nazaret, jelaslah bahwa kita memandang Laki-laki Bersandal itu sebagai Penyambung Lidah Allah. Yesus mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Allah. Yesus juga menggumuli dengan intens realitas sosial pada zaman-Nya. Kedua hal itu membentuk komitmen, perspektif, dan praksis. Komitmen-Nya, preferential option for the poor and the oppressed (pilihan mendahulukan kaum yang miskin dan yang tertindas). Perspektifnya, Kerajaan Allah. Praksis-Nya, praksis keadilan atau praksis pembebasan. Lewat komitmen, perspektif, dan praksis-Nya, suara Allah dan sang anak manusia menyatu dan menantang dunia.

Yesus dan Zaman-Nya

Ketika Yesus dari Nazaret mewartakan Kerajaan Allah, Ia menjumpai kenyataan penindasan, penghisapan, dan kesewenang-wenangan. Dia berhadapan dengan struktur-struktur yang mendominasi kehidupan rakyat. Struktur-struktur itu adalah Mamon, Taurat, Kaisar, dan Kenisah (Bait Suci).

Ditilik secara sosio-ekonomik, Mamon adalah sistem ekonomik yang eksploitatif. Ia merupakan tata-ekonomi feodal yang memposisikan orang-orang Herodian, sisa-sisa aristokrat (ningrat) Yahudi, dan para saudagar yang berkoneksi dengan penjajah Romawi sebagai pihak yang dengan leluasa mengambil nilai-lebih dari jerih payah para budak, kaum tani penggarap, dan buruh tani. Sistem ini juga secara ironis memungkinkan keluarga-keluarga imam besar mengeruk keuntungan berlimpah-limpah dari sistem-kurban di Kenisah, termasuk mengontrol bisnis kurban dan menghisap imam-imam rendahan. Berjiwa pemujaan terhadap kekayaan, Mamon adalah Kuasa yang menindas secara ekonomik.

Ditilik secara sosio-religius, Taurat berfungsi sebagai Kode Kekudusan atau Kode Kemurnian. Kode  Kekudusan membeda-bedakan manusia di hadapan Allah dan akses manusia kepada-Nya: Yahudi-Kafir, kaum saleh, “penduduk negeri”, dan “orang berdosa dan pemungut cukai”. Berjiwa diskriminatif, Taurat adalah Kuasa yang menindas secara agamawi.

Ditilik secara sosio-politik, Kaisar adalah suatu kekuasaan politik suatu negeri atas negeri lain. Suatu bentuk Imperialisme Kuno.[1] Sejak tahun 63 SM, negeri bangsa Yahudi ada di bawah kekuasaan Romawi. Pemerintahan pendudukan (kolonial) Romawi didirikan di sana, lengkap dengan administrasi dan tentara. Kewajiban membayar “pajak” (upeti) kepada Kaisar menjadi beban yang sangat berat bagi rakyat. Guna menjamin pemasukan, pemerintah pendudukan bekerjasama dengan orang-orang Yahudi yang menjadi pemungut cukai. Pemerintah juga berkolaborasi dengan para pemimpin setempat, seperti para raja boneka dari keluarga Herodes dan otoritas Kenisah. Kental dengan kekerasan militer, penindasan Kaisar menimbulkan rasa terhina dan penderitaan dalam diri orang-orang Yahudi.

Kenisah lebih kompleks. Ia merupakan Kuasa para pemimpin Yahudi yang tergabung dalam  Sanhedrin. Secara sosio-religius, ia menjaga Kode Kekudusan. Mempertahankan perbedaan antarmanusia di hadapan Allah, Kenisah juga mengklaim  diri sebagai penghubung manusia dengan Allah. Secara sosio-politik, ia merupakan simbol kolaborasi pemerintahan pendudukan. Secara sosio-ekonomik, ia merupakan mesin pencetak keuntungan bagi mereka yang secara tradisional diyakini sebagai  pihak  yang berwenang atas kelestarian sistem kurban. Terdistorsi secara agamawi, politik, dan ekonomik, Kenisah menjadi Kuasa yang menindas rakyat.

Yesus menentang struktur-struktur yang anti-kemerdekaan dan anti-Perdamaian itu. Dengan tegas Ia mengecam struktur sosio-ekonomik yang menghisap (Mamon) dan struktur sosio-religius yang diskriminatif dan memarjinalkan orang dari akses kepada Allah (Kode Kekudusan). Secara terbuka Ia  juga menentang Kuasa pengawal status quo yang menindas rakyat (Kenisah), juga mengeritik struktur sosio-politik yang militeristik (Kaisar).

Dalam menentang struktur-struktur tersebut, Yesus mengakarkan diri-Nya dalam preferential option for and with the poor and the oppressed.Yesus berkomitmen untuk berjuang untuk dan bersama dengan kaum miskin-tertindas. Simak saja, sebagai contoh, Lukas 4.17-21:

Kepada-Nya diberikan kitab nabi Yesaya dan setelah dibuka-Nya, Ia menemukan nas, di mana ada tertulis:

"Roh Tuhan ada pada-Ku,
oleh sebab Ia telah mengurapi Aku,
untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin;
dan Ia telah mengutus Aku
untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan,
dan penglihatan bagi orang-orang buta,
untuk membebaskan orang-orang yang tertindas,
untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang."

Kemudian Ia menutup kitab itu, memberikannya kembali kepada pejabat, lalu duduk; dan mata semua orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepada-Nya. Lalu Ia memulai mengajar mereka, kata-Nya: "Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya."

Sang Revolusioner

Yesus menolak cara-cara yang reaksioner dalam menghadapi Kuasa-kuasa. Ia menolak jalan kekerasan kaum nasionalis-revolusioner dan jalan pengucilan-diri kaum Esseni. Ia juga menolak untuk menempuh jalan kompromi kaum Saduki dan jalan pemisahan yang ditempuh kaum Farisi yang justru mendiskriminasi dan memarjinalkan rakyat dari akses kepada Allah. Rupanya Yesus menilai semua jalan atau cara itu bersifat reaksioner. Ia pun menempuh dan menawarkan jalan alternatif.

Alih-alih, Yesus mewartakan Kerajaan Allah. Pewartaan itu terjabar dalam pengajaran dan praksis yang konkret. Ia yakin bahwa melalui pengajaran dan praksis-Nya, tatanan perikehidupan baru yang bersendikan perdamaian, kasih, keadilan, dan kebenaran mulai datang dan terwujudkan. Premis-nilai atau komitmen dasariah pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah jelas: preferential option for and with the poor and the oppressed. Itulah keberpihakan kepada semua pihak yang miskin, tertindas, terhisap, dan terpinggirkan – baik secara sosio-ekonomik, sosio-politik, bahkan sosio-religius.[2] Terkait dengan itu, Yesus menaruh perhatian dalam pembentukan komunitas Perdamaian, yakni pembentukan suatu umat yang baru yang hidup bersama-sama di bawah pemerintahan Allah. Ajakan-Nya, “Mari, ikutlah Aku” memanggil orang-orang untuk bergabung dalam komunitas-Nya.

Sejalan dengan itu, Yesus menempuh jalan nir-kekerasan. Yesus menyadari bahwa pewartaan tentang Kerajaan Allah harus dilakukan dengan jalan yang sesuai dengan watak dari Kerajaan itu sendiri. Jalan itu radikal: menolak berkompromi dengan struktur-struktur. Tercakup di dalamnya adalah penolakan untuk menggunakan cara yang menjadi watak struktur-struktur yang menindas, menghisap, dan sewenang-wenang: kekerasan. Jalan itu revolusioner: membangun tatanan baru yang berhadap-hadapan dengan tatanan lama yang didominasi oleh struktur-struktur yang anti-kemerdekaan dan anti-Perdamaian. Jalan itu kiri dalam arti yang sebenar-benarnya: preferential option for and with the poor and the oppressed. Jalan itu progresif: tatanan yang lama harus digantikan oleh tatanan yang baru, yakni Pemerintahan Allah (Markus 2.21-22). Bagi Yesus, jalan yang benar-benar  radikal, revolusioner, kiri, dan progresif adalah jalan nirkekerasan.

Yesus menyadari bahwa jalan nirkekerasan adalah jalan salib. Pasalnya, pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah niscaya berbenturan dengan struktur-struktur yang anti-kemerdekaan dan anti-Perdamaian. Tidak mengherankan bila kemudian pihak-pihak yang berkepentingan dengan lestarinya Mamon, Kode Kekudusan, Kenisah, dan Kaisar memandang Yesus dari Nazaret sebagai ancaman. Tindak lanjutnya adalah penangkapan dan pengadilan terhadap Yesus, yang bermuara dalam sengsara dan kematian sang anak manusia. Dalam kata-kata J. Denny Weaver, “manakala Yesus membuat Pemerintahan Allah kelihatan dan hadir dengan cara tersebut, itu sedemikian mengancam sehingga kesatuan kekuatan-kekuatan kejahatan berhimpun membunuh-Nya.”[3]

Yesus tidak undur dari pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah. Yesus terus melakukannya dengan jalan yang paling konsisten: Ia tidak berpaling dari jalan nirkekerasan. Rupanya Ia yakin sepenuhnya bahwa hanya melalui jalan nirkekerasan-lah struktur-struktur anti-kemerdekaan dan anti-Perdamaian dapat dikalahkan, Kerajaan Allah dimeteraikan, dan kaum miskin-tertindas memiliki masa depan yang baru, yakni kemerdekaan dan Perdamaian. Karena itu, setelah mengatasi berbagai godaan (bdk Mat 4.1-11//Luk 4.1-13) dan menjalani saat-saat yang sangat mencekam (Mrk 14.32-42), Yesus bersiteguh untuk menempuh jalan salib sebagai puncak dari jalan nirkekerasan. Dengan jalan ini, figur Hamba Yahweh terwujud dalam diri Yesus dari Nazaret.

Kematian dan Kebangkitan

Dalam samsara dan kematian Yesus, sepintas kita menyaksikan kemenangan struktur-struktur yang anti-kemerdekaan dan anti-Perdamaian atas Sang Wakil kaum miskin, tertindas, terhisap, dan terpinggirkan. Kemenangan itu dibarengi dengan orgi kekerasan yang gegap-gempita. Namun pada saat yang sama, melalui sikap nirkekerasan Yesus yang konsisten, Allah sedang menyingkapkan kodrat  sesungguhnya dari Kuasa-kuasa itu serta melucuti dan mengosongkan kekuatan mereka (lihat Kol 2.15). Dengan kata lain, yang terjadi adalah sebuah paradoks: dalam samsara dan kematian Yesus, struktur-struktur yang menindas menang besar tetapi sekaligus kalah secara  menentukan.

Dalam konteks paradoks ini, Kebangkitan Yesus merupakan sebuah peristiwa kosmik yang bersejarah (a historic cosmic event). Pertama, Kebangkitan adalah pembelaan (vindikasi) Allah atas Yesus dari Nazaret dan, di dalam Dia, semua kaum tertindas yang diwakilinya: sengsara dan kematian tidak dapat membinasakan mereka. Kedua, Kebangkitan adalah proklamasi kemenangan Yesus dan, di dalam Dia, kaum tertindas, atas struktur-struktur yang menindas.

Dengan kedua makna tersebut, terbukalah pengharapan akan masa depan yang lebih adil-manusiawi bagi kaum tertindas dan setiap orang yang dengan kehendak baik berjuang bersama dengan mereka. Di dalam Yesus, yang melalui kebangkitan-Nya telah menjadi Kyrios dan Christos dalam Kerajaan Allah (lihat Kis 2:36), kaum tertindas menghidupi sejarah yang telah ditahbiskan Allah menjadi sejarah pemerdekaan dan Pedamaian.


Penutup

Yesus dari Nazaret menghidupi misi profetis-Nya dengan konsekuen pada komitmen preferential option for the poor and the oppressed, perspektif Kerajaan Allah, dan praksis keadilan atau pembebasan. Dia konsekuen sampai akhir. Dia memeteraikan sikap konsekuen itu dengan penderitaan dan kematian-Nya di kayu salib. Allah membenarkan Yesus dan menyatakan keberpihakan-Nya kaum yang miskin dan yang tertindas dengan membangkitkan Laki-laki Bersandal dari Nazaret itu dari kematian. Dengan jalan itu masa depan berada di pihak para jelata. Dengan jalan itu pula setiap misi profetis tidak akan sia-sia dalam mempersiapkan jalan bagi menyingsingnya fajar kemanusiaan yang baru. *** 


[1] Dorongan dasariah dari Imperialisme adalah kepentingan ekonomik. Ketika kebutuhan ekonomik suatu negeri meningkat sementara sumber-sumber domestik untuk memenuhinya terbatas, ekspansi militer terhadap negeri (-negeri) lain sering dipandang sebagai pilihan yang paling realistis (baca: menguntungkan). Tentu bukan tanpa perhitungan. Kemenangan ekspedisi militer suatu negeri atas negeri lain segera diikuti dengan penetapan perjanjian antara para pemimpin negeri pemenang dengan para pemimpin negeri yang kalah. Tentu saja perjanjian itu lebih menguntungkan negeri pemenang daripada negeri yang kalah. Perjanjian itu antara lain meliputi (i) negeri yang kalah tunduk kepada negeri pemenang; (ii) negeri yang kalah dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan negeri pemenang; (iii) negeri  yang kalah mengakui raja  negeri pemenang sebagai rajanya; (iv) negeri yang kalah membayar pajak (baca: upeti) kepada negeri pemenang; (v) negeri yang kalah mempersilakan negeri pemenang untuk  mendirikan pemerintahan pendudukan lengkap dengan administrasi dan tentaranya; dan (vi) negeri yang kalah bersedia menerima dan melaksanakan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan negeri  pemenang.   
[2] Dalam konteks  ini rasanya tidak mengherankan bila Yesus sering menyebut diri-Nya sebagai “anak manusia”, suatu ungkapan yang sarat dengan penghayatan diri sebagai bagian dari umat manusia yang bergelut dengan kemiskinan,  ketertindasan, keterhisapan, dan keterpinggiran.
[3] J. Denny Weaver, “Violence in Christian Theology”, dalam Cross Currents, Summer 2001, Vol. 51,  No 2, http://www.crosscurrents.org/weaver0701.htmhttp://www.crosscurrents.org/weaver0701.htm   Diunduh Jumat, 22 Juli 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar