Oleh: Rudolfus
Antonius
Istilah
”misi profetis” berarti perutusan yang di dalamnya orang mengemban tugas
kenabian. Ia menjadi ”penyambung lidah” Allah, menyampaikan penilaian dan sikap
Allah terhadap realitas dalam konteks sosio-historis tertentu. Nabi-nabi klasik
Israel, seperti Amos, Hosea, Yesaya, dan Mikha, terutama sekali bergumul dengan
realitas ketidakadilan sosial dalam masyarakat pada zaman mereka. Pergumulan
mereka menjadi ”rahim” bagi penilaian dan sikap Allah terhadap realitas dalam
konteks sosio-historis mereka masing-masing. Penilaian dan sikap Allah menyatu
dengan keprihatinan mereka. Pada gilirannya, dengan cara-cara yang khas mereka
menyampaikan pesan ilahi yang telah menjiwai diri mereka itu kepada masyarakat
mereka masing-masing. Pesan mereka begitu tajam, kuat, dan memiliki nilai yang
berkelanjutan, karena suara mereka adalah perpaduan antara suara Allah dan
suara manusia, yang menyatu dalam gugatan, harapan, dan ajakan untuk
memperjuangkan kemanusiaan yang otentik.
Bila
”misi profetis” dikenakan kepada Yesus dari Nazaret, jelaslah bahwa kita
memandang Laki-laki Bersandal itu sebagai Penyambung Lidah Allah. Yesus
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Allah. Yesus juga menggumuli dengan
intens realitas sosial pada zaman-Nya. Kedua hal itu membentuk komitmen,
perspektif, dan praksis. Komitmen-Nya, preferential
option for the poor and the oppressed (pilihan mendahulukan kaum yang
miskin dan yang tertindas). Perspektifnya, Kerajaan Allah. Praksis-Nya, praksis
keadilan atau praksis pembebasan. Lewat komitmen, perspektif, dan praksis-Nya,
suara Allah dan sang anak manusia menyatu dan menantang dunia.
Yesus dan Zaman-Nya
Ketika Yesus
dari Nazaret mewartakan Kerajaan Allah, Ia menjumpai kenyataan penindasan,
penghisapan, dan kesewenang-wenangan. Dia berhadapan dengan struktur-struktur
yang mendominasi kehidupan rakyat. Struktur-struktur itu adalah Mamon, Taurat, Kaisar, dan Kenisah (Bait Suci).
Ditilik
secara sosio-ekonomik, Mamon adalah
sistem ekonomik yang eksploitatif. Ia merupakan tata-ekonomi feodal yang
memposisikan orang-orang Herodian, sisa-sisa aristokrat (ningrat) Yahudi,
dan para
saudagar yang berkoneksi dengan penjajah Romawi sebagai pihak yang
dengan leluasa mengambil nilai-lebih dari jerih payah para budak, kaum tani
penggarap, dan buruh tani. Sistem ini juga secara ironis memungkinkan
keluarga-keluarga imam besar mengeruk keuntungan berlimpah-limpah dari
sistem-kurban di Kenisah, termasuk
mengontrol bisnis kurban dan menghisap imam-imam rendahan. Berjiwa pemujaan
terhadap kekayaan, Mamon adalah Kuasa yang menindas secara ekonomik.
Ditilik
secara sosio-religius, Taurat
berfungsi sebagai Kode Kekudusan
atau Kode Kemurnian. Kode Kekudusan membeda-bedakan manusia di hadapan
Allah dan akses manusia kepada-Nya: Yahudi-Kafir, kaum saleh, “penduduk
negeri”, dan “orang berdosa dan pemungut cukai”. Berjiwa diskriminatif, Taurat
adalah Kuasa yang menindas secara agamawi.
Ditilik
secara sosio-politik, Kaisar adalah
suatu kekuasaan politik suatu negeri atas negeri lain. Suatu bentuk
Imperialisme Kuno.[1] Sejak tahun 63 SM, negeri bangsa Yahudi ada di bawah
kekuasaan Romawi. Pemerintahan pendudukan (kolonial) Romawi didirikan di sana,
lengkap dengan administrasi dan tentara. Kewajiban membayar “pajak” (upeti)
kepada Kaisar menjadi beban yang sangat berat bagi rakyat. Guna menjamin
pemasukan, pemerintah pendudukan bekerjasama dengan orang-orang Yahudi yang
menjadi pemungut cukai. Pemerintah juga berkolaborasi dengan para pemimpin
setempat, seperti para raja boneka dari keluarga Herodes dan otoritas Kenisah.
Kental dengan kekerasan militer, penindasan Kaisar menimbulkan rasa terhina dan
penderitaan dalam diri orang-orang Yahudi.
Kenisah lebih kompleks. Ia merupakan Kuasa para pemimpin Yahudi yang tergabung
dalam Sanhedrin. Secara sosio-religius,
ia menjaga Kode Kekudusan. Mempertahankan perbedaan antarmanusia di hadapan
Allah, Kenisah juga mengklaim diri
sebagai penghubung manusia dengan Allah. Secara sosio-politik, ia merupakan
simbol kolaborasi pemerintahan pendudukan. Secara sosio-ekonomik, ia merupakan
mesin pencetak keuntungan bagi mereka yang secara tradisional diyakini
sebagai pihak yang berwenang atas kelestarian sistem
kurban. Terdistorsi secara agamawi, politik, dan ekonomik, Kenisah menjadi
Kuasa yang menindas rakyat.
Yesus
menentang struktur-struktur yang anti-kemerdekaan dan anti-Perdamaian itu.
Dengan tegas Ia mengecam struktur sosio-ekonomik yang menghisap (Mamon) dan
struktur sosio-religius yang diskriminatif dan memarjinalkan orang dari akses
kepada Allah (Kode Kekudusan). Secara terbuka Ia juga menentang Kuasa pengawal status quo yang menindas rakyat
(Kenisah), juga mengeritik struktur sosio-politik yang militeristik (Kaisar).
Dalam
menentang struktur-struktur tersebut, Yesus
mengakarkan diri-Nya dalam preferential
option for and with the poor and the oppressed.Yesus berkomitmen untuk
berjuang untuk dan bersama dengan kaum miskin-tertindas.
Simak saja, sebagai contoh, Lukas 4.17-21:
Kepada-Nya diberikan kitab nabi Yesaya dan setelah
dibuka-Nya, Ia menemukan nas, di mana ada tertulis:
"Roh Tuhan ada pada-Ku,
oleh sebab Ia telah mengurapi Aku,
untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin;
dan Ia telah mengutus Aku
untuk memberitakan pembebasan
kepada orang-orang tawanan,
dan penglihatan bagi orang-orang buta,
untuk membebaskan
orang-orang yang tertindas,
untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang."
Kemudian Ia
menutup kitab itu, memberikannya kembali kepada pejabat, lalu duduk; dan mata
semua orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepada-Nya. Lalu Ia memulai mengajar
mereka, kata-Nya: "Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu
mendengarnya."
Sang Revolusioner
Yesus menolak cara-cara yang reaksioner dalam menghadapi
Kuasa-kuasa. Ia menolak
jalan kekerasan kaum nasionalis-revolusioner dan jalan pengucilan-diri kaum
Esseni. Ia juga menolak untuk menempuh jalan kompromi kaum
Saduki dan jalan pemisahan yang ditempuh kaum Farisi yang justru
mendiskriminasi dan memarjinalkan rakyat dari akses kepada Allah. Rupanya Yesus
menilai semua jalan atau cara itu bersifat reaksioner. Ia pun menempuh dan
menawarkan jalan alternatif.
Alih-alih, Yesus mewartakan Kerajaan Allah. Pewartaan
itu terjabar dalam pengajaran dan praksis yang konkret. Ia yakin bahwa melalui
pengajaran dan praksis-Nya, tatanan perikehidupan baru yang bersendikan
perdamaian, kasih, keadilan, dan kebenaran mulai datang dan terwujudkan.
Premis-nilai atau komitmen dasariah pewartaan-Nya
tentang Kerajaan Allah jelas: preferential option for and with the poor
and the oppressed. Itulah keberpihakan kepada semua pihak yang miskin,
tertindas, terhisap, dan terpinggirkan – baik secara sosio-ekonomik,
sosio-politik, bahkan sosio-religius.[2] Terkait dengan itu, Yesus menaruh
perhatian dalam pembentukan komunitas Perdamaian, yakni pembentukan suatu umat
yang baru yang hidup bersama-sama di bawah pemerintahan Allah. Ajakan-Nya, “Mari, ikutlah Aku” memanggil orang-orang
untuk bergabung dalam komunitas-Nya.
Sejalan dengan itu, Yesus
menempuh jalan nir-kekerasan. Yesus menyadari bahwa pewartaan tentang Kerajaan
Allah harus dilakukan dengan jalan yang sesuai dengan watak dari Kerajaan itu
sendiri. Jalan itu radikal: menolak berkompromi dengan struktur-struktur. Tercakup
di dalamnya adalah penolakan untuk menggunakan cara yang menjadi watak struktur-struktur
yang menindas, menghisap, dan sewenang-wenang: kekerasan. Jalan itu revolusioner:
membangun tatanan baru yang berhadap-hadapan dengan tatanan lama yang
didominasi oleh struktur-struktur yang anti-kemerdekaan dan anti-Perdamaian. Jalan itu kiri dalam arti yang
sebenar-benarnya: preferential option for and with the poor and the oppressed.
Jalan itu progresif: tatanan yang lama harus digantikan oleh tatanan yang
baru, yakni Pemerintahan Allah (Markus 2.21-22). Bagi Yesus, jalan yang
benar-benar radikal, revolusioner, kiri,
dan progresif adalah jalan nirkekerasan.
Yesus menyadari bahwa jalan
nirkekerasan adalah jalan salib. Pasalnya, pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah
niscaya berbenturan dengan struktur-struktur yang anti-kemerdekaan dan anti-Perdamaian.
Tidak mengherankan bila kemudian pihak-pihak yang berkepentingan dengan
lestarinya Mamon, Kode Kekudusan, Kenisah, dan Kaisar memandang Yesus dari
Nazaret sebagai ancaman. Tindak lanjutnya adalah penangkapan dan pengadilan
terhadap Yesus, yang bermuara dalam sengsara dan kematian sang anak manusia.
Dalam kata-kata J. Denny Weaver, “manakala Yesus membuat Pemerintahan Allah
kelihatan dan hadir dengan cara tersebut, itu sedemikian mengancam sehingga
kesatuan kekuatan-kekuatan kejahatan berhimpun membunuh-Nya.”[3]
Yesus tidak
undur dari pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah. Yesus terus melakukannya
dengan jalan yang paling konsisten: Ia tidak berpaling dari jalan nirkekerasan.
Rupanya Ia yakin sepenuhnya bahwa hanya melalui jalan nirkekerasan-lah
struktur-struktur
anti-kemerdekaan dan anti-Perdamaian dapat dikalahkan, Kerajaan
Allah dimeteraikan, dan kaum miskin-tertindas memiliki masa depan
yang baru, yakni kemerdekaan dan Perdamaian. Karena itu, setelah
mengatasi berbagai godaan (bdk Mat 4.1-11//Luk 4.1-13) dan menjalani saat-saat
yang sangat mencekam (Mrk 14.32-42), Yesus bersiteguh untuk menempuh jalan
salib sebagai puncak dari jalan nirkekerasan. Dengan jalan ini, figur Hamba
Yahweh terwujud dalam diri Yesus dari Nazaret.
Kematian dan Kebangkitan
Dalam samsara dan kematian Yesus, sepintas
kita menyaksikan kemenangan struktur-struktur yang anti-kemerdekaan dan
anti-Perdamaian atas Sang Wakil kaum miskin, tertindas, terhisap, dan
terpinggirkan. Kemenangan itu dibarengi dengan orgi kekerasan yang gegap-gempita.
Namun pada saat yang sama, melalui sikap nirkekerasan Yesus yang konsisten,
Allah sedang menyingkapkan kodrat
sesungguhnya dari Kuasa-kuasa itu serta melucuti dan mengosongkan
kekuatan mereka (lihat Kol 2.15). Dengan kata lain, yang terjadi adalah sebuah
paradoks: dalam samsara dan kematian Yesus, struktur-struktur yang menindas
menang besar tetapi sekaligus kalah secara
menentukan.
Dalam
konteks paradoks ini, Kebangkitan Yesus merupakan sebuah peristiwa kosmik yang
bersejarah (a historic cosmic event).
Pertama, Kebangkitan adalah
pembelaan (vindikasi) Allah atas Yesus dari Nazaret dan, di dalam Dia, semua
kaum tertindas yang diwakilinya: sengsara dan kematian tidak dapat membinasakan
mereka. Kedua, Kebangkitan adalah
proklamasi kemenangan Yesus dan, di dalam Dia, kaum tertindas, atas
struktur-struktur yang menindas.
Dengan kedua makna tersebut,
terbukalah pengharapan akan masa depan yang lebih adil-manusiawi bagi kaum
tertindas dan setiap orang yang dengan kehendak baik berjuang bersama dengan
mereka. Di dalam Yesus, yang melalui kebangkitan-Nya telah menjadi Kyrios dan Christos dalam Kerajaan Allah (lihat Kis 2:36), kaum tertindas
menghidupi sejarah yang telah ditahbiskan Allah menjadi sejarah pemerdekaan dan
Pedamaian.
Penutup
Yesus dari Nazaret menghidupi
misi profetis-Nya dengan konsekuen pada komitmen preferential option for the poor and the oppressed, perspektif
Kerajaan Allah, dan praksis keadilan atau pembebasan. Dia konsekuen sampai
akhir. Dia memeteraikan sikap konsekuen itu dengan penderitaan dan kematian-Nya
di kayu salib. Allah membenarkan Yesus dan menyatakan keberpihakan-Nya kaum
yang miskin dan yang tertindas dengan membangkitkan Laki-laki Bersandal dari
Nazaret itu dari kematian. Dengan jalan itu masa depan berada di pihak para
jelata. Dengan jalan itu pula setiap misi profetis tidak akan sia-sia dalam
mempersiapkan jalan bagi menyingsingnya fajar kemanusiaan yang baru. ***
[1] Dorongan dasariah dari Imperialisme adalah kepentingan ekonomik. Ketika
kebutuhan ekonomik suatu negeri meningkat sementara sumber-sumber domestik
untuk memenuhinya terbatas, ekspansi militer terhadap negeri (-negeri) lain
sering dipandang sebagai pilihan yang paling realistis (baca: menguntungkan).
Tentu bukan tanpa perhitungan. Kemenangan ekspedisi militer suatu negeri atas
negeri lain segera diikuti dengan penetapan perjanjian antara para pemimpin
negeri pemenang dengan para pemimpin negeri yang kalah. Tentu saja perjanjian
itu lebih menguntungkan negeri pemenang daripada negeri yang kalah. Perjanjian itu antara lain meliputi (i)
negeri yang kalah tunduk kepada negeri pemenang; (ii) negeri yang kalah
dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan negeri pemenang; (iii) negeri yang kalah mengakui raja negeri pemenang sebagai rajanya; (iv) negeri
yang kalah membayar pajak (baca: upeti) kepada negeri pemenang; (v) negeri yang
kalah mempersilakan negeri pemenang untuk
mendirikan pemerintahan pendudukan lengkap dengan administrasi dan
tentaranya; dan (vi) negeri yang kalah bersedia menerima dan melaksanakan kebijakan-kebijakan
yang ditetapkan negeri pemenang.
[2] Dalam
konteks ini rasanya tidak mengherankan
bila Yesus sering menyebut diri-Nya sebagai “anak manusia”, suatu ungkapan yang
sarat dengan penghayatan diri sebagai bagian dari umat manusia yang bergelut
dengan kemiskinan, ketertindasan,
keterhisapan, dan keterpinggiran.
[3] J. Denny Weaver, “Violence in Christian Theology”, dalam Cross Currents, Summer 2001, Vol.
51, No 2, http://www.crosscurrents.org/weaver0701.htmhttp://www.crosscurrents.org/weaver0701.htm Diunduh Jumat, 22 Juli 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar