Minggu, 10 November 2013

HARI PAHLAWAN: RENUNGAN SPARTAKUS INDONESIA

10 November 1945: Pertempuran Surabaya. Negara Indonesia memperingatinya sebagai Hari Pahlawan. Pertempuran Surabaya adalah bagian dari Revolusi Agustus. Dalam perspektif Bung Karno, Revolusi Agustus adalah revolusi nasional, yang membidik kemerdekaan demi suatu Negara Indonesia yang berdaulat penuh secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Dalam tahapan ini, kata kuncinya adalah "persatuan". Ya, persatuan semua kelas dan golongan atau unsur dalam bangsa Indonesia. Persatuan semua kekuatan revolusioner, katanya. Samenbundeling van alle revolutionaire krachte. Setelah revolusi nasional rampung, menyusullah revolusi sosial, yang membidik transformasi masyarakat Indonesia, menuju masyarakat sosialis ala Indonesia, yang adil dan makmur, gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharja. Lantas kapankah selesainya revolusi nasional itu? Kapankah revolusi sosial dimulai? Setelah penyerahan kedaulatan (via KMB), menurut Bung Karno revolusi belum selesai, baik revolusi nasional, lebih-lebih revolusi sosial. Sebab, bagaimana bisa revolusi nasional bisa dikatakan selesai bila (menurut persetujuan KMB) Republik Indonesia (Serikat) masih tergabung dalam Uni Indonesia-Belanda yang dikepalai Sri Ratu, Indonesia harus membayar biaya yang dikeluarkan Belanda untuk memerangi Indonesia (1945-49), perusahaan2 Belanda masih bercokol di Indonesia, dan Irian Barat belum dikembalikan Belanda kepada Indonesia? Revolusi nasional belum tuntas, apalagi revolusi sosial. Di lain pihak, menurut Bung Hatta, dengan penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia dalam KMB, revolusi sudah selesai. Berikutnya bukan revolusi, melainkan upaya mengisi kemerdekaan. Pembangunan. Di sinilah Dwi Tunggal mulai berpisah jalan. Dwi Tunggal kemudian menjadi Dwi Tanggal sesudah Bung Karno mendekati PKI. “Tak bisa air bersatu dengan minyak,” kata Bung Hatta, yang kemudian mengundurkan diri dari jabatan wapres. Setelah menjadi bonapartis-populis (via Dekrit Presiden yang tidak lepas dari dukungan Angkatan Darat yang ngebet ingin ikut berkuasa dengan menggelindingnya bola api Jalan Tengah Tentara-nya AH Nasution [yg kelak menjadi Dwi Fungsi ABRI]) Bung Karno menyatukan revolusi sosial ke dalam revolusi nasional. Ia menyebut nasional Indonesia sebagai “the summing up of many revolutions in one generation” dan “revolusi pancamuka”, yang meliputi revolusi politik, revolusi ekonomi, revolusi sosial, revolusi kebudayan, dsb. Revolusi macam ini jelas belum selesai. Dalam kenyataannya, dengan tergulingnya Bung Karno dan dihancurkannya PKI, "revolusi belum selesai" itu dihentikan. Orde Baru Soeharto mendefinisikan revolusi sebagai revolusi fisik atau revolusi kemerdekaan(1945-49): revolusi sudah selesai. Orde Baru Soeharto selanjutnya mencanangkan: pembangunan nasional – dalam integrasi perekonomian Indonesia dengan kapitalisme dunia. Dengan kata lain, memasukkan Indonesia yang semua anti-imperialis ke dalam orbit imperialisme. Pasca kejatuhan Soeharto, presiden-presiden Indonesia dari Habibie sampai SBY, mempertahankan status Indonesia sebagai bagian dari orbit imperialisme. Seorang veteran Sosialis menyebut Indonesia masa kini sebagai negeri neo-kolonial, neo-liberal, dan hidup menurut pragmatisme Amerika. Kembali kepada Bung Karno. Tesis BK tentang dua tahap revolusi, yakni revolusi nasional dan (kemudian) revolusi sosial, menurut pendapat saya, bercorak Menshevik dan Stalinis. Dahulukan yang nasional demi “pembebasan nasional”, baru yang sosial demi “Sosialisme.” Kelak Kawan Aidit menyebut tahapan pertama sebagai “revolusi burjuis/demokratik tipe baru.” Namun, agaknya kemudian Bung Karno mengalami kesulitan untuk memastikan kapan selesainya tahapan pertama dan kapan dimulainya tahapan kedua. Sikon nasional dan sikon internasional agaknya mempengaruhi visinya tentang revolusi. Di dalam negeri, aspirasi revolusi nasional dan revolusi sosial tumpang tindih. PKI (yang bangkit kembali dari kehancuran akibat kekalahan dalam Perlawanan Madiun 1948) mewakili kedua aspirasi ini. Di luar negeri, kebangkitan negeri-negeri jajahan menjadi negara-negara merdeka (yang terinspirasi oleh KAA 1955) di satu sisi dan pergulatan Soviet-AS, Sino-AS, dan Sino-Soviet (yang sudah dimulai sejak akhir hidup Stalin dan memuncak pada masa Khruschev) di sisi lain memperlihatkan aspirasi anti-imperialisme yang sangat kuat. Dalam sikon seperti ini Bung Karno mencanangkan: revolusi pancamuka, the summing up of many revolutions in one generation. Simaklah AMPERA: (i) NKRI yang berdaulat penuh dari Sabang sampai Merauke; (ii) Masyarakat Indonesia yang adil-makmur; dan (iii) Dunia tanpa exploitation de l’homme par l’homme dan tanpa exploitation de nation par nation. Salah satu persoalan serius, menurut pendapat saya, dari visi Bung Karno tentang revolusi adalah soal kepemimpinan dalam revolusi. Demokrasi Terpimpin, yang menempatkannya sebagai bonapartis-populis (“Pemimpin Besar Revolusi”), memuat kontradiksi yang tajam antara kepentingan burjuis nasional (yang mendapat dukungan dari sisa-sisa kelas feodal) dan kepentingan buruh dan tani. Di kanan ada partai-partai burjuis, baik yang nasionalis-sekular maupun nasionalis-Islamis, dan Angkatan Darat. Di kiri ada PKI, yang dipandang sebagai partainya kelas buruh dan kaum tani Indonesia. Kepemimpinan bonapartis-populis ini kelihatannya revolusioner, namun pada saat yang sama membiarkan kekuatan reaksi tumbuh dan kelak akan menggelar kontra-revolusi. Subversi kaum imperialis, dalam relasi yang saling memanfaatkan terutama dengan Angkatan Darat, tetapi juga dengan partai-partai nasionalis, akhirnya berpuncak pada penggulingan Bung Karno dan pelikuidasian PKI – dengan pretext kudeta Gerakan 30 September. “Naiknya Para Jenderal” (meminjam judul buku MR Siregar) sontak mengubah posisi Indonesia, dari anti-imperialisme menjadi bagian dari orbit imperialisme. Memang, “tugas historis” Soeharto dan Orde Baru-nya adalah mengintegrasikan Indonesia ke dalam kapitalisme dunia. Selain itu, dalam kancah Perang Dingin, Soeharto dan Orde Baru-nya harus memainkan peran sebagai penjagal kaum Komunis sekaligus menjadi anjing penjaga kepentingan kaum imperialis dari rongrongan Komunisme. Kelak, sesudah “tugas historis” Soeharto dan Orde Baru selesai, di tengah krisis ekonomi yang bertransformasi menjadi krisis politik, kaum imperialis turut menggulingkan the Smiling General dan Orde Baru-nya sembari tetap mempertahankan tatanan ekonomi-politik kapitalis Indonesia. Sejak saat itu, Negara Kesejahteraan Berwajah Leviathan ala Orde Baru beralih menjadi Negara Neo-Liberal, yang mengawinkan demokrasi liberal dan penjarahan besar-besaran imperialis atas Indonesia. Hingga hari ini. Yang menarik, Soeharto mengambilalih Demokrasi Terpimpin-nya Bung Karno. Suatu faham yang menempatkan pemimpin besar sebagai seorang bapak yang mahabijaksana, tahu yang terbaik dan pandai membuat sintesis dari sekian banyak pendapat yang berbeda, tersimpul dalam ungkapan “musyawarah untuk mufakat”, tidak asing bagi Soeharto. Ia tahu apa yang akan dibuatnya. Ia memodifikasi Demokrasi Terpimpin menjadi Demokrasi Pancasila. Sama-sama bonapartis, tapi bukan populis melainkan fasis. Ya. Bonapartis-fasis. Itulah Soeharto dan Orde Baru-nya. Ada perbedaan lain. Sementara Demokrasi Terpimpin memuat kontradiksi tajam antara burjuis nasional dan kelas buruh dan tani. Demokrasi Pancasila “berhasil” meniadakan kontradiksi itu. Caranya: membungkam kelas buruh dan tani. Untuk itu, Demokrasi Pancasila bertumpu pada satu partai negara (yang menguasai birokrasi), yakni Golkar, dan Militer yang ber-Dwi Fungsi. Sekian banyak partai diharuskan Soeharto berfusi dan menjadi dua partai aksesoris, PPP dan PDI. Bersama Golkar dan ABRI serta atas restu kaum imperialis yang digembongi AS, Soeharto membangun Negara Orde Baru sebagai Negara Kesejahteraan (yang dibiayai utang luar negeri yang telah terlebih dulu dikorupsi; ingat: Piye kabare, Le, iseh kepenak jamanku, toh?) Berwajah Leviathan (yang super-represif). Kembali ke Pertempuran Surabaya yang heroik, kembali ke Revolusi Agustus. Menurut Saudara, tidakkah Revolusi Agustus telah diselewengkan dari tujuannya yang seharusnya? Tidak sia-siakah pengorbanan arek-arek Surabaya dan sekian banyak rakyat pekerja Indonesia demi memenangkan Revolusi Agustus? Lantas, apa yang harus kita, kaum muda, perbuat? Jabat erat – Salam SPARTAKUS Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar