Pengantar
Pada
akhir 1960-an, sebuah gerakan sosial dan intelektual baru muncul di Amerika
Latin. Berakar dalam Iman Kristen dan Alkitab,
gerakan tersebut mengupayakan suprasuktur ideologisnya berdasarkan refleksi-religius
yang terkait-erat dengan organisasi Gereja.
Para
anggota dari tarekat-tarekat (ordo-ordo) berkomitmen pada ikrar kemiskinan.
Mereka tidak mempunyai harta-milik secara individual. Meski demikian, mereka
menikmati standart-dan-jaminan-hidup yang memisahkan mereka dari pergulatan
sehari-hari kaum miskin. Pada waktu itu muncullah pertanyaan: Kemiskinan macam
mana yang seharusnya dihidupi para anggota tarekat manakala sebagian besar
orang (umat) hidup dalam kemiskinan yang sangat parah, yang merendahkan
harkat-martabat kemanusiaannya? Apa yang harus dilakukan oleh Gereja dan
orang-orang Kristen?
Teologi
Pembebasan muncul sebagai hasil dari refleksi yang kritis-sistematis atas Iman
Kristen, implikasi-implikasi, dan praksisnya. Teolog-teolog yang merumuskannya adalah
sekelompok kecil rohaniwan Katolik dan Protestan. Mereka melayani sebagai penasihat-penasihat
para romo, suster, dan pendeta. Karena itu mereka bersentuhan langsung dengan kelompok-kelompok
akar-rumput, bahkan menyediakan waktu untuk bekerja bersama-sama dengan kaum-miskin.
Kontak langsung itu memunculkan berbagai pertanyaan yang pada gilirannya
menjadi pergumulan teologis.
Para
teolog Pembebasan memaknai Alkitab dan ajaran-ajaran kunci Kekristenan melalui
pengalaman-pengalaman kaum miskin. Mereka membantu kaum-miskin untuk memaknai iman
mereka sendiri dalam suatu cara yang baru. Dalam konteks itu, Kehidupan dan Pesan
Yesus Kristus mendapat perhatian yang serius. Di sisi lain kini Kaum-miskin belajar
membaca Alkitab dalam suatu cara yang mengukuhkan harkat-dan-martabat mereka, serta
hak mereka untuk berjuang bahu-membahu demi kehidupan yang lebih layak.
Menurut
Teologi Pembebasan, kemiskinan yang sangat parah, yang melanda sebagian besar rakyat
(umat), adalah produk dari tatanan-masyarakat. Menyikapinya, di satu sisi Teologi
Pembebasan tampil sebagai Kritik: Kritik terhadap struktur-struktur sosio-ekonomiko-politik
dan ideologi-ideologi yang menopangnya; juga Kritik terhadap praksis Gereja dan
orang Kristen. Di sisi lain, Teologi Pembebasan tampil sebagai pemaknaan-baru
terhadap Iman Kristen berdasarkan penderitaan, perjuangan, dan pengharapan
kaum-miskin.
Penaklukan dan
Penjajahan
Secara
historis Gereja Katolik Roma (GKR) memiliki andil yang sangat besar dalam penaklukan
dan penjajahan di Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Keterlibatan itu dimulai
tatkala pada 1492 Paus Alexander VI mengeluarkan sebuah dekrit yang membagi
dunia-yang-belum-berada-di-bawah-pemerintahan-Kristen di antara raja-raja
Spanyol dan Portugal. Dekrit tersebut juga menetapkan hak dan kewajiban
raja-raja kedua negara untuk menyebarkan Iman Katolik.
Penaklukan-dan-penjajahan
berlangsung dengan sangat-sangat kejam. Para conquistador memaksakan Christendom:
otoritas-sipil dan otoritas-agamawi saling-terkait. Otoritas-agamawi
(“Kristus”: Takhta-Suci/Hirarki) menjadi “sisi-dalam” kekuasaan, sementara
otoritas-sipil (“Kaisar”: rezim-rezim monarkis Spanyol dan Portugal) menjadi
“sisi-luar” yang menjalankan keputusan-keputusan otoritas-agamawi.
Para
klerus pada umumnya tinggal di perkotaan. Terutama mereka melayani klas
penguasa (misalnya: di sekolah-sekolah). Mereka menikmati hidup-nyaman,
sehubungan dengan status mereka sebagai kaum yang memiliki privilese. Gereja
memiliki tanah-tanah yang luas. Karena itu, rasanya tidak mengherankan bila semasa
gerakan-kemerdekaan (Abad XIX) para uskup berpihak pada rezim-monarkis Spanyol,
sementara para paus membuat pernyataan-pernyataan yang menentang
perjuangan-perjuangan kemerdekaan.
Tetapi,
syukurlah, ada juga rohaniwan-rohaniwan yang memprotes kekejaman
penaklukan-dan-penjajahan: Bartolomé de las Casas di Hispaniola (Abad XVI) dan Antonio
de Valdivieso (uskup Nikaragua, yang mati ditikam pada 1550).
Dalam
masyarakat yang terdominasi secara agamawi, tidak ada ruang bagi inovasi,
mobilitas sosial, atau pemikiran yang bebas dan spontan, apalagi demokrasi dan
institusi-institusinya. Masyarakat terstruktur secara ketat, hirarkis, dan feodal,
seperti Hirarki GKR – seakan telah ditetapkan Allah sekali untuk selamanya!
Akar-akar Sosial
dan Agamawi
Secara
eksplisit, “Teologi Pembebasan” pertama kali disebutkan pada tahun 1968, dalam
sebuah pidato yang disampaikan oleh seorang teolog Peru di kota pelabuhan Chimbate.
Tapi akar-akarnya sudah ada pada gerakan-gerakan agamawi dan sosial yang
melanda Amerika Latin pada dekade 1950-an. Kala itu para uskup GKR merasa prihatin
terhadap pengaruh para misionaris Protestan yang semakin meningkat,
sekularisasi yang semakin mendalam di kalangan umat, dan idea-idea komunis yang
semakin populer. Keprihatinan terhadap ketiga hal ini menjadi pokok-pokok
bahasan dari Sidang Pleno I CELAM (Konferensi Uskup-uskup Amerika Latin) pada 1955
di Río de Janeiro. Keprihatinan tersebut diperdalam dengan minimnya jumlah
klerus yang melayani kaum miskin serta bertali-temalinya Gereja dengan tatanan
yang tidak adil.
Situasi
sosial di Amerika Latin melahirkan gerakan-gerakan revolusioner: Kuba,
Venezuela, Guatemala, dan Peru. Di Brazil, kaum tani menjadi militan. Klas
menengahnya mengalami radikalisasi dan bekerjasama dengan kaum-miskin. Seorang
pendidik Brazil, Paulo Freire, mengembangkan sebuah metode baru untuk dalam
pendidikan baca-tulis massa rakyat-petani: proses "conscientizaçao" alias penggugahan-kesadaran.
Keprihatinan
dan gerakan-gerakan sosial itu muncul di tengah kemiskinan yang sangat parah,
yang dialami oleh 70% rakyat Amerika Latin. Sejumlah pemikir Kristen mulai
menggunakan Marxisme sebagai perangkat analisis-sosial untuk
memahami struktur masyarakat Amerika Latin. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan
tentang signifikansi teologis dari sebuah revolusi sosial.
Di
tataran gerejawi, dorongan yang kuat untuk melakukan perubahan berdasarkan visi
yang baru tentang dunia datang dari dokumen-dokumen Konsili Vatikan II
(1962-1965). Sejalan dengan itu, para uskup Amerika Latin menegaskan bahwa Konferensi
harus menghasilkan dokumen-dokumen final yang memuat pergumulan gerejawi dengan
isu-isu pembangunan dan kemajuan-manusiawi (human
progress) sebagai suatu historical
imperative. Salah seorang uskup Amerika Latin menyatakan, “Sosialisme yang
otentik adalah Kekristenan yang dihidupi sepenuh-penuhnya, dalam kesetaraan yang
mendasar dan dengan pendistribusian barang-barang yang fair".
Romo
Camilo Torres contoh bagaimana menghidupi sikap yang baru tersebut. Romo Torres
menyadari perlunya sebuah front-persatuan
yang mempersatukan kaum tani, kaum buruh, para penghuni pemukiman kumuh, dan
kaum professional agar dapat mengadakan perubahan-perubahan yang mendasar. Menurutnya,
perubahan-perubahan fundamental dalam struktur-struktur ekonomik, sosial, dan
politik membutuhkan revolusi. Esensi revolusi pengalihan kekuasaan dari
segelintir kaum yang berprivilese kepada mayoritas kaum-miskin. Revolusi tersebut
bisa menjadi revolusi damai bila kaum yang berprivilese tidak berupaya
menggagalkannya dengan kekerasan. Orang-orang Kristen harus aktif-terlibat.
Romo Torres gugur sebagai gerilyawan pada 1966.
Di
tataran akademik, para ilmuwan sosial menandaskan bahwa keterbelakangan struktural
Amerika Latin dikondisikan oleh eksploitasi yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan
ekonomiko-politik asing yang mengurung benua tersebut di dalam sebuah sistem
ketergantungan terhadap pusat-pusat hegemonik.
Ensiklik
Paus Paulus VI, Populorum Progressio (1967),
mengeritik tatanan-ekonomik internasional. Secara eksplisit ensiklik tersebut mengutuk
sistem kapitalis yang sekarang ini dikenal karena kejahatan-kejahatan sosialnya.
Kapitalisme adalah sebuah sistem "yang memandang laba sebagai motif-kunci
bagi kemajuan-ekonomik, persaingan sebagai hukum tertinggi Ilmu Ekonomi, dan
kepemilikan-pribadi atas alat-alat produksi sebagai suatu hak mutlak yang tidak
mempunyai batasan-batasan dan tidak memikul kewajiban sosial yang sepatutnya."
Dalam
Sidang Pleno II, yang digelar di Medellin, Kolombia (1968), para uskup Amerika
Latin menyerukan agar orang Kristen terlibat dalam transformasi masyarakat.
Mereka juga menyalahkan kekerasan yang terlembaga dan menyebutnya “situasi
dosa”. Mereka menyerukan perbaikan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi
dalam masyarakat, pembelaan terhadap HAM, dan penginjilan yang menggugah-kesadaran.
Mereka juga berbicara tentang "comunidades
de base", yakni kelompok-kelompok Kristen yang dipimpin oleh kaum awam
sebagai unit-unit organis-dasariah dari masyarakat dan aktivitas pastoral. Dokumen-dokumen
Medellin 1968 sering menggunakan terminologi liberatif dan berbicara tentang
hubungan timbal-balik antara pembebasan dan penginjilan:
"Gereja …
mempunyai tugas untuk memproklamirkan pembebasan jutaan umat manusia, yang di
antaranya banyak yang merupakan anak-anaknya sendiri ... Ini tidak asing bagi
penginjilan."
Medellin
1968 juga beranggapan bahwa perubahan-perubahan yang mendasar akan terjadi melalui
pertobatan kaum yang berprivilese dan para penguasa. Sedangkan kaum-revolusioner
diartikan sebagai orang-orang yang mengupayakan perubahan-perubahan radikal dan
meyakini bahwa rakyat adalah subyek-sejarah, yang harus memetakan perjalanan-hidup
mereka sendiri. Jadi Medellin 1968 tidak memaknai “kaum revolusioner” sebagai
kaum pengguna kekerasan.
Prinsip-prinsip
Teologi Pembebasan
Menghadapi
persoalan-persoalan besar dalam masyarakat, beberapa pemikir Kristen menyadari
bahwa teologi tradisional (yang berfokus pada dogma-dogma gerejawi dan
konsep-konsep agamawi yang abstrak) telah kehilangan relevansinya. Teologi
tradisional telah menjadi sebuah spekulasi abstrak yang lepas dari semangat injili
yang asli dan tidak bersentuhan dengan kehidupan yang riil. Pada level sosial teologi
tradisional malah melayani kaum-kaya. Para pemikir Kristen menyadari bahwa seorang
Kristen yang benar-benar mempercayai dan mempedulikan ideal-ideal Kristen harus
menggumuli pertanyaan: Bagaimana menjadi seorang Kristen dalam sebuah situasi
historis yang konkret? Maka keprihatinan-keprihatinan mendasar di Amerika Latin
bergeser dari “apakah seseorang dapat mempercayai apa yang disampaikan oleh
Kekristenan” kepada “apa relevansi Kekristenan dalam perjuangan demi sebuah
dunia yang lebih adil". Dengan pertimbangan-pertimbangan seperti itu, lahirlah
Teologi Pembebasan.
Outline Teologi
Pembebasan pertama kali dikemukakan oleh teolog Peru, Gustavo Gutierrez,
beberapa pekan sebelum Konferensi Medellin 1968. Gutierrez mendefinisikan
teologi sebagai sebuah "refleksi kritis terhadap praksis historis Gereja dalam
terang firman Allah." Teologi Pembebasan mempunyai dua prinsip yang paling
mendasar. Pertama, pengakuan atas perlu-mendesaknya pembebasan dari setiap
jenis penindasan, baik politik, ekonomik, sosial, seksual, rasial, maupun
agamawi. Kedua, penegasan bahwa teologi harus tumbuh dari komunitas-komunitas
basis Kristen, bukan dipaksakan dari “atas” (= dari Magisterium Gereja yang infallible).
Teologi
Pembebasan mengeksplorasi makna teologis dari aktivitas manusia. Pertama,
Teologi Pembebasan memaknai Iman Kristen dari penderitaan, perjuangan, dan
pengharapan kaum-miskin. Kedua, Teologi Pembebasan mengeritik tatanan-masyarakat
dan ideologi-ideologi yang menopangnya, demikian juga praksis Gereja dan orang
Kristen. Sehubungan dengan itu, Teologi Pembebasan menekankan bahwa komitmen
yang bertanggungjawab terhadap konflik-klas (“preferential
option for the poor”) adalah sebuah ekspresi kasih terhadap sesama manusia.
Melalui solidaritas kepada kaum miskin, para teolog Pembebasan menganjurkan
transendensi dari pembagian-klas kepada suatu tipe-masyarakat yang baru.
Sebagai
tema utama, “Pembebasan” digumuli pada tiga level-makna yang terkait satu
dengan yang lain. Pada level sosial dan politik, Pembebasan
adalah sebuah ekspresi-aspiratif rakyat yang terhisab dalam klas-klas yang tertindas.
Pembebasan ini menyangkut konflik dalam proses-proses ekonomik, sosial, dan
politik antara kaum-tertindas dan kaum-penindas. Pada level manusiawi, Pembebasan
dipahami sebagai sebuah proses-historis yang di dalamnya rakyat secara sadar mengembangkan
nasib mereka sendiri melalui perubahan-perubahan sosial. Pada level
salvifik-religius, Pembebasan berarti pembebasan dari dosa, sumber
ultimat segala penyimpangan terhadap persaudaraan, sumber ultimat semua
ketidakadilan dan penindasan. Pembebasan ini total-radikal: mengembalikan
manusia kepada persekutuan dengan Allah dan sesamanya. Ketiga level-makna ini
tidak bisa dipisahkan. Ketiganya membentuk "proceso
unico y complejo" (proses yang unik dan kompleks). Untuk pertama
kalinya dosa dirumuskan dalam terma tindakan-sosial (bukan dalam cara
tradisional, yang personifikasinya tampil dalam diri Setan, atau sebagai tindakan-personal
semata-mata). Untuk pertama kalinya pula karya penyelamatan-ilahi dihubungkan
secara eksplisit dengan pengalaman manusia dalam masyarakat.
Mengutamakan
Praksis
Sumber
langsung bagi Teologi Pembebasan adalah pengalaman personal banyak romo,
suster, dan pekerja-sosial, yang pada dekade 1960-an melakukan upaya-upaya yang
mendekatkan mereka dengan kaum-miskin. Teologi Pembebasan tumbuh dari
refleksi-refleksi mereka. Misalnya teolog Brazil Clodovis Boff. Setiap tahun ia
menggunakan waktu enam bulan untuk bekerja di kalangan kaum miskin di
negara-bagian Acre, Brazil. Karena itu, para teolog Pembebasan adalah para "intelektual-organik"
yang dapat menyeberangi jurang-pemisah klas yang lebar-dan-dalam di Amerika
Latin.
Gutierrez
dan teolog-teolog Pembebasan lainnya menegaskan bahwa sebagai refleksi, teologi
bersifat sekunder, yang datang setelah orang Kristen mengimplementasikan
komitmennya untuk bekerja di kalangan kaum-miskin. Pergeseran ini signifikan,
pergeseran dari spekulasi-abstrak kepada iman-yang-hidup, iman-dalam-aksi.
Penekanan pada keutamaan praksis di atas spekulasi dan abstraksi teologis tentu
kontras dengan ortodoksi Katolik. Secara tradisional, para romo mengkhotbahkan “sikap
pasrah kepada kehendak Allah”, yang pada gilirannya mengukuhkan keyakinan bahwa
pendistribusian kekayaan dan kekuasaan yang berlaku saat ini merupakan
ketatapan Allah. Masyarakat-tani yang mengalami indoktrinasi seperti ini akan cenderung
untuk menginternalisasikan pandangan yang fatalistik tentang alam semesta,
kehidupan, dan masyarakat.
Gutierrez
menemukan tiga makna kemiskinan. Pertama, langkanya barang-barang material untuk
memenuhi kebutuhan hidup yang mendasar. Kelangkaan ini mendehumanisasikan.
Kedua, keterbukaan kepada Allah; dan ketiga, komitmen terhadap solidaritas, preferential option for the poor.
Alkitab memahami kemiskinan material sebagai kejahatan yang diakibatkan oleh
penindasan yang dilakukan manusia terhadap sesamanya. Karena itu dokumen Medellín
menyarankan sebuah “Gereja kaum miskin” yang menggugat kelangkaan yang tidak
adil berikut dosa yang telah menyebabkannya, mengkhotbahkan dan menghidupi
kemiskinan-rohani sebagai sikap-keterbukaan kepada Allah, dan berkomitmen
kepada kemiskinan. Kemiskinan-sukarela dipandang sebagai sebuah tindakan kasih
dan pembebasan, solidaritas dengan kaum-miskin-dan-tertindas.
Komitmen ini menggemakan panggilan untuk meninggalkan kehidupan yang nyaman dan
melangkah ke sebuah barrio atau wilayah
pedesaan untuk hidup bersama dengan rakyat. Dengan tindakan ini pun para klerus
belum menjadi orang miskin itu sendiri. Mereka harus mengembangkan sebuah model
kegiatan berdasarkan karya Paulo Freire. Ensiklik Redemptor Hominis sarat dengan muatan Pembebasan:
"Ketidakadilan, eksploitasi manusia
oleh manusia, eksploitasi manusia oleh negara, lembaga-lembaga, dan mekanisme sistem-sistem
ekonomik, harus disebutkan dengan nama-nama mereka."
"... Pembebasan harus disisipkan ke dalam seluruh
realitas kontemporer hidup manusia."
"... Pembebasan adalah
sebuah realitas iman, salah satu tema biblika yang mendasar, yang secara
mendalam tertera di dalam misi penyelamatan Kristus, dalam karya penebusan, dan
dalam pengajaran-Nya."
Praksis
Teologi Pembebasan menubuhkan-diri di dalam komunitas-komunitas basis gerejawi.
Kelompok-kelompok kecil Kristen yang dipimpin oleh kaum awam ini melihat diri
mereka sebagai bagian dari Gereja, serta bekerjasama untuk memperbaiki nasib
mereka dan mendirikan sebuah masyarakat yang lebih adil. Komunitas-komunitas
basis adalah jawaban terhadap persoalan-persoalan pastoral yang kena-mengena
dengan minimnya jumlah klerus di Amerika Latin.[1]
Mereka memadukan fungsi sosial dan edukasional dengan aktivitas pastoral. Motivasi utama mereka agamawi, yang
didasarkan pada religiositas popular di sekitar kultus terhadap para santo-dan-santa
serta Anak Dara Maria. Mereka dimodel menurut karya Paulo Freire. Mereka
meliputi beberapa aktivitas, seperti mengajar kaum-tani membaca dan menulis,
mengorganisir self-help, dan
menggugah kesadaran-diri mereka.
Beberapa
klerus kemudian mengadopsi metode ini untuk “re-evangelisasi orang dewasa",
yakni mengabarkan Pesan tentang Kristus sepenuh-penuhnya. Penginjilan-ulang ini
mencakup topik-topik seperti pemahaman tentang sebab-musabab kemiskinan dan
ketidakadilan-sosial, persoalan-persoalan komunitas dalam relasi antarmanusia, ajaran-ajaran
keagamaan, dsb. Semuanya dikaitkan-erat dengan Alkitab.
Komunitas-komunitas
basis berdampak besar pada masyarakat. Mereka mewujudkan langkah-awal dalam
menggugah kesadaran rakyat dengan memberi mereka suatu perspektif yang luas
tentang peran dan tempat rakyat dalam masyarakat. Mereka menolong rakyat untuk
memproyesikan visi-rakyat tentang kehidupan dan memotivasi rakyat untuk
terlibat. Komunitas-komunitas itu mengembangkan sense of solidarity, yang terwujud dalam tolong-menolong dan
saling-mendukung di dalam komunitas. Mereka berfungsi sebagai sebuah pelatihan bagi
pengalaman berdemokrasi serta mengarahkan aksi-aksi sosial dan politik mereka.
Secara
keseluruhan, komunitas-komunitas basis ini tidak cocok dengan Hirarki GKR yang
vertikalistis itu. Pada suatu titik tertentu, kaum kuat-kuasa dan hirarki
Gereja menganggap komunitas-komunitas basis sebagai ancaman terhadap
dominasinya mereka. Tak jarang mereka mengintimidasi komunitas-komunitas basis.
Tapi, karena tidak ada cara untuk “memutar-balik jarum jam”, beberapa uskup memutuskan
untuk memasukkan komunitas-komunitas basis ke dalam struktur gerejawi dan menempatkan
komunitas-komunitas tersebut di bawah kontrol mereka.
Sejarah sebagai
Sebuah Fokus Teologi
Pesan
liberatif Injil agaknya tidak mengidentifikasi manakah bentuk-sosial yang adil.
Pesan Injil meresapi realisasi-historis yang total dan menempatkannya di dalam
sebuah perspektif yang lebih luas, yakni keselamatan yang total-radikal. Ketika
pesan Injil tidak diimplementasikan dalam kehidupan, orang menyusun ideologi
guna melegitimasi dan menjustifikasi situasi sosial yang ada. Karena itu, penginjilan
berwatak liberatif karena memproklamirkan pembebasan yang radikal yang mencakup
pula transformasi terhadap kondisi-kondisi sosio-historis yang di dalamnya
mereka hidup. Namun, tanpa mempertimbangkan realitas sosio-historis (termasuk
politik!), analisis akan kehilangan pijakan yang riil dan jatuh pada spiritualisme.
Bagi para teolog Pembebasan, refleksi teologis harus berakar dalam masa-kini
yang historis.
Dalam
tulisan-tulisan para teolog Pembebasan, kita sering menemukan rujukan-rujukan
pada Marx dan Marxisme. Para teolog Pembebasan memang menggunakan Marxisme
sebagai piranti analisis-sosial. Ini tidak berarti bahwa mereka menerima Marxisme
mentah-mentah. Materialisme-dialektis yang secara inheren berwatak ateistik
itu, misalnya, tidak diterima.
Dalam
ranah hubungan-hubungan internasional, para teolog Pembebasan mengadopsi Teori
Dependensia. Menurut teori yang digagas dan dikembangkan oleh kalangan Marxis
berada di luar lingkaran-hegemonik Uni Soviet dan Tiongkok itu, negeri-negeri
yang terbelakang didirikan sebagai produsen-produsen utama bahan-bahan mentah
dan produk-produk pertanian menurut pembagian kerja internasional. Ini mengakibatkan
ketergantungan politik. Konferensi Medellín 1968 dan Sekretariat Jenderal Celam
(1973) menerima analisis Dependensia sebagai fakta.
Membaca Alkitab
Membaca
Alkitab dan memaknainya dari perspektif kaum-miskin adalah esensial bagi
Teologi Pembebasan. Tanpa aspek agamawi ini, Teologi Pembebasan akan menjadi sekadar
suatu varian yang diperluas dari analisis-sosial. Kita simak beberapa contoh.
- Kisah Penciptaan dalam Kitab Kejadian. Massa rakyat-petani mampu mengapresiasi tuturan-puitis penciptaan dengan baik berkat pergumulan mereka dengan obyek-obyek pengalaman keseharian mereka. Teologi Pembebasan menekankan kebaikan ciptaan, harkat-martabat kaum (tani) miskin sebagai citra Allah, penguasaan mereka atas bumi, dan hak-hak mereka atas manfaat-manfaatnya (ingat: hanya sedikit di antara mereka yang memiliki tierra atau tanah).
- Dosa memiliki dimensi sosial dalam cerita Kain dan Habel, bukan berakar dalam cerita Adam dan Hawa (yang merupakan basis tradisional bagi konsep tentang dosa yang abstrak dan mitis).
- Peristiwa Keluaran menjadi sebuah prototipe dari Pembebasan dan membentuk sebuah paradigma bagi tindak-penyelamatan ilahi. Sedikit saja perhatian diberikan kepada “mukjizat-mukjizat”. Penekanan ditujukan pada kekuasaan yang menindas dan Pembebasan.
- Nabi-nabi Perjanjian Lama dan nubatan-nubuatan mereka dipandang sebagai penggugah-kesadaran rakyat.
- Kristus adalah Sosok yang merepresentasikan perjuangan, kematian, dan vindikasi kaum miskin-tertindas. Pendeknya, Kristus Sang Pembebas: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku ntuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk 4:18-19). Tak pelak lagi, bacaan ini terdengar laksana sebuah manifesto-sosial! Yesus sendiri hidup sebagai orang miskin: miskin secara material (bukan hanya spiritual!). Ia hidup dalam solidaritas dengan kaum miskin-tertindas. Ia menggugat agama yang mapan, yang tidak mempunyai komitmen terhadap kasih kepada sesama. Ia dieksekusi atas rekayasa kaum otoritas-agamawi yang memandang Yesus sebagai ancaman terhadap tatanan-masyarakat dan kekuasaan mereka.
- Komunitas-komunitas-iman dalam Perjanjian Baru dipandang sebagai comunidades de base yang pertama.
Betapa
hidup dan mencerahkannya pembacaan Alkitab itu bagi kaum-miskin dalam
komunitas-komunitas basis. Lebih-lebih ketika Hirarki GKR juga merasa bahwa
kuasanya sedang terancam oleh komunitas-komunitas itu. Hirarki tidak
segan-segan untuk menggunakan intimidasi dan pembungkaman terhadap eksponen
terkemuka Teologi Pembebasan, Leonardo Boff. Dalam upaya memaklumi represi
bahkan penganiayaan pemerintah terhadap para teolog Pembebasan, Hirarki
menggunakan tuduhan bahwa teolog-teolog telah mencampuradukkan Injil dengan
Marxisme.
Metodologi
Secara
metodologis, Teologi Pembebasan bekerja dalam tiga tataran. Pertama, tataran sosio-analitik, yakni
pencerapan terhadap realitas sosial. Pisau bedah analisisnya “dialektika”,
yakni analis Marxis. Tataran ini mengutuk kapitalisme sebagai sumber berbagai
kejahatan. Kedua, tataran hermeneutis, yakni pembacaan teologis terhadap
realitas sosial dalam terang iman berdasarkan Alkitab. Leonardo dan Clodovis
Boff dengan ringkas merumuskannya dengan cara ini:
"... Iman menolong orang
Kristen untuk membenarkan dan mendukung gerakan-gerakan historis yang memiliki
suatu kesamaan yang lebih besar dengan ideal-ideal Injil. Saat ini, sebagai
contoh, kita merasa bahwa ideal Kristen lebih dekat dengan sosialisme daripada
dengan kapitalisme. Ini bukan soal menciptakan sebuah sosialisme Kristen. Ini
adalah soal untuk mampu mengatakan bahwa sistem sosialis, ketika secara aktual
dilaksanakan dalam realitas, memampukan orang Kristen untuk menghidupi lebih
baik ideal-ideal humanitarian dan ilahi dari iman mereka.”
Ketiga,
tataran
pelayanan pastoral atau tataran praksis, yakni upaya mencari
atau menciptakan cara-cara yang kreatif, hidup, dan cocok bagi praksis dan penubuhan
Teologi Pembebasan dalam aktivitas pastoral.
Dalam rumusan Boff bersaudara:
"... Gereja mempunyai tugas
untuk bertindak sebagai agen pembebasan. Ia harus berupaya untuk membahasakan
kata-katanya, katekesisnya, liturginya, aksi komunitasnya, dan
intervensi-intervensinya terhadap otoritas-yang-mapan, dalam arah pembebasan."
Reaksi
Setelah
Medellin 1968, kekuatan-kekuatan reaksioner melancarkan serangan terhadap
Teologi Pembebasan. Serangan datang dari CIA dan lingkaran-lingkaran yang
konservatif dalam GKR.
- Uskup Alfonso Trujillo dan Yesuit Belgia Roger Vekemans mengorganisir sebuah kampanye untuk mendiskreditkan Teologi Pembebasan. Berkat kampanye itu, Uskup Trujillo terpilih sebagai sekretaris CELAM.
- Ensiklik Paulus VI, Octogesima Adveniens (1971) meminta agar Gereja mewaspadai dan mengendalikan Teologi Pembebasan.
- Pada saat yang sama, berdasarkan pandangan dari Kongregasi bagi Ajaran dan Iman, dilancarkan represi terhadap para klerus yang progresif, Uskup Agung Helder Camara, belakangan juga terhadap Gustavo Gutierrez, Leonardo Boff, dan yang lain-lainnya berdasarkan.
- Semasa persiapan Konferensi CELAM di Puebla, Meksiko, dokumen persiapan ditolak oleh para uskup konservatif. Namun, dokumen final diterima atas desakan uskup-uskup lainnya. Tapi toh dokumen tersebut agak tidak konklusif, dan menyiratkan upaya untuk menghapus warna Teologi Pembebasan.
- Pada 1973, Trilateral Commission didirikan di AS, sebagai sarana untuk memuluskan dominasi “kemaharajaan” AS dengan kedok advokasi HAM dan mengusung ideology of national security (sebuah oxymoron, tentu).
Sikap
Hirarki GKR nampak berliku-liku. Di satu sisi Hirarki mengklaim tidak terlibat
dalam politik. Tapi kenyataannya, ia berpihak pada satu sisi yang
menguntungkannya. Barangkali kita dapat memahami sikap ini. Di dunia modern,
dengan tata-hubungan Gereja-Negara yang baru, Gereja semakin kehilangan kontrol
atas masyarakat. Akhir dari Christendom,
yakni “masyarakat Kristen yang bertulangpunggungkan persatuan Gereja dan Negara”
sudah tiba. Gereja yang merasa terancam berusaha mencari pembenaran baru untuk
mempertahankan sisa-sisa kekuasaannya.
Penutup
Menurut
pandangan penulis, Teologi Pembebasan adalah suara profetis-kritis Gereja. Suara tersebut senada dengan Nabi-nabi
Perjanjian Lama dan Yesus dari Nazaret. Suara tersebut menggema dalam konteks
sosio-historis kontemporer berkat penggunaan Marxisme sebagai piranti
analisis-sosial. Dengan piranti itu Teologi Pembebasan mampu menyingkapkan
realitas kemiskinan yang sangat parah dan membeberkan ketidakadilan dalam
sistem kapitalis dan apparatus pendukungnya. Dengan temuan kritis itu, Alkitab
menjadi sumber yang kritis pula bagi refleksi teologis.
Saya
juga melihat konvergensi antara analisis Marxis dan ideal-ideal asli
Kekristenan. Marxisme dan Kekristenan berjuang untuk Utopia (meski kaum Marxis
dogmatis tentu akan menyangkal bahwa mereka membidik sebuah Utopia). Marxisme
memimpikan sebuah masyarakat tanpa klas, sedangkan Kekristenan mendambakan
Kerajaan Allah. Ada afinitas di antara masyarakat tanpa klas dan Kerajaan
Allah: keadilan, kebenaran, dan perdamaian. Tentu saja keduanya tidak sama
persis. Saya pribadi cenderung menganggap cita-cita Marxis, bila benar-benar
terwujud, “hanya” sebagai replika dari Kerajaan Allah. Konvergensi ini, menurut
pendapat saya, membuat analisis sosio-historis Marxis bisa dibenarkan dalam
Teologi Pembebasan.
Bila
secara tradisional Gereja mengklaim diri sebagai Kerajaan Allah (Augustinus: “Civitas Dei”), Teologi Pembebasan menegor
dan mengingatkannya bahwa Gereja hanyalah sekadar pelayan Kerajaan Allah, yang
melayani maujudnya kehendak Allah (= kasih, kebenaran, keadilan, dan keutuhan
ciptaan) dalam tatanan baru, yakni tatanan shalom
(= perdamaian, damai sejahtera, dan kesejahteraan bagi semua makhluk).***
________________________
Tulisan
ini merupakan penulisan-kembali dari pembacaan dialogis-kritis penulis atas
tulisan Marian Hillar, “Liberation Theology: Religious Response to Social
Problems. A Survey, dalam Humanism and
Social Issues. Anthology of Essays. M. Hillar and H.R. Leuchtag, eds.,
American Humanist Association, Houston, 1993, pp. 35-52. http://www.socinian.org/liberty.html
DAFTAR BACAAN
Boff,
Clodovis, “Methodology of the Theology of Liberation”, dalam Systematic Theology: Perspectives from
Liberation Theology, eds. Jon Sobrino & Ignacio Ellacuria (Maryknoll:
Orbis, c.u. 2001)
Boff,
Leonardo, Yesus Kristus Pembebas
(Maumere: LPBAJ, 1999)
Boff,
Leonardo & Clodovid Boff, “The Basic Question: How to Be Christians in a
World of Destitution”, dalam Liberation
Theology and Landreform, http://www.landreform.org/boff1.htm
Boff,
Leonardo & Clodovid Boff, “A Concise History of Liberation Theology”, dalam
Liberation Theology and Landreform, http://www.landreform.org/boff2.htm
Budiman,
Arief, “Ilmu-ilmu Sosial Indonesia A-Historis”, dalam Prisma, No. 6, Juni, 1983.
Gutierrez,
Gustavo, A Theology of Liberation: History,
Politics, and Salvation (Maryknoll: Orbis, 1973).
Löwy,
Michael, “Opiate of the People? Marxism and Religion”, dalam IV Online magazine: IV368 - June 2005, http://www.internationalviewpoint.org/spip.php?article807&var_recherche=%22liberation%20theology%22
Mangunwijaya,
Y.B., “Teologi Pemerdekaan”, dalam Memuliakan
Allah, Mengangkat Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 1999)
[1] Pendahulu mereka adalah aktivitas
Catholic Action di Belgia, juga cursillos de Cristianidad di Spanyol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar